Ternyata ini memang bukan makan malam biasa. Saat menjemputku tadi, Wishnu memakai setelan yang agak sedikit rapi dari biasanya. Untuk menyeimbangi penampilannya, aku pun mengenakan dress selutut warna salmon. Bukannya aku tengah bersiap untuk segala kemungkinan yang ada. Hanya saja, rasanya tidak lucu kalau di tempat makan nanti penampilanku njomplang dari suasana restoran itu. Dan, nyatanya sku bisa menyaksikan sendiri tempat makan apa yang dipilih Wishnu saat ini.Kami makan malam di salah satu restoran fine dining kawasan Sudirman. Seorang pelayan restoran mengantarkan ke tempat yang sudah Wishnu reservasi. Beberapa kali aku menghela napas. Ini akan menjadi suatu yang berat,1 pikirku.
"Apa kamu suka?" tanya Wishnu saat aku mencoba menu pembuka yang langsung dihidangkan seorang pelayan laki-laki begitu kami berhasil mendapatkan tempat kami. Aku belum sempat meletakkan sendokku kembali saat Wishnu bertanya.
"Suka sih," jawabku. Tapi, aku rasa itu tidak memuaskan Wishnu. Keningnya mengernyit.
"Kamu nggak suka, ya?" tanya dia lagi seolah mengerti keenggananku menjawab pertanyaannya tadi.
"Suka, pasti harga makanan di restoran ini mahal-mahal."
Wishnu mendesah. "Itu nggak penting, Lila, yang penting kamu itu suka."
"Suka. Cuma ...."
Wishnu menatapku, dia menunggu jawabanku.
"Suasana di sini terlalu mengintimidasi."
Wishnu malah terkekeh mendengar perkataanku. "Kamu jangan mikir yang aneh-aneh. Lebih baik kamu nikmati saja makanannya."
"M-mm, sebenarnya ada apa sih? Kenapa kita makan malam di restoran fine dinning kayak gini? Nggak biasanya." Aku beneran takut.
Seorang pelayan menyajikan menu utama. Obrolan kami terjeda.
"Selamat menikmati," ucap pelayan itu ramah dengan senyum lebar.
"Terima kasih," jawab Wishnu.
Pelayan itu pun berlalu. Wishnu beralih menatapku kembali. "Sebaiknya kita makan dulu."
Aku bahkan tidak membuka buku menu. Wishnu seolah tahu, aku tidak suka direpotkan hal-hal semacam ini. Karena pasti di buku menu itu, nama-nama makanan di sini aneh dan asing bagiku. Seperti appetizer tadi, namanya Escargot a la Bourguignonne. Ya, kami berada di restoran Prancis. Yang bagi lidahku nama-namanya susah disebut. Aku tidak mengerti, makanan dengan tampilan seperti keong ini kenapa namanya begitu panjang dan susah. Tapi, rasanya memang aku akui luar biasa.
Kami makan dalam diam. Steak frittes yang terlihat lezat di piring sajiku mendadak hambar rasanya. Terlalu banyak tanda tanya dalam kepalaku. Steak dengan red wine dalam gelas kaca yang disajikan harusnya bisa menggugah selera makanku. Namun, aku malah tidak bersemangat sama sekali saat memotong daging tanpa lemak ini.
"Kamu tidak suka lagi?" tanya Wishnu lagi.
Aku urung memasukkan potongan daging ke mulut. "Suka kok." Aku dorong dengan pelan garpu ke dalam mulutku.
"Atau kamu mau wagyu?"
Aku menggeleng. Bukan itu masalahnya.
Wishnu masih menatapku. Melihatku tidak ada reaksi lagi dia meraih gelas wine-nya. Meneguknya sedikit.
"Kalau gitu habiskan, ya."
"Ya tentu saja. Makanan mahal memang harus dihabiskan kalau tidak aku bakal menyesalinya seumur hidup."
Wishnu menggeleng. Mungkin dia merasa konyol karena aku terus mempermasalahkan harga dari sebuah makanan yang baginya tidak seberapa.
"Lila."
Aku menahan napas. Rasa-rasanya Wishnu mulai bicara serius. Steak di piringku masih sisa setengahnya. Aku berusaha untuk segera menghabiskan. Semakin cepat makan malam ini selesai, makin baik.
"Jadi, kapan kamu siap melangkah lebih jauh?"
Bahasa yang Wishnu gunakan terlampau sopan. Tapi, aku tahu betul apa maksudnya. Susah payah aku menelan potongan daging yang terasa nyangkut di tenggorokkan.
"Mas aku ... aku perlu berpikir." Jantungku rasanya mau copot demi nggak membuatnya tersinggung.
Wishnu mendesah. Kedua tangannya yang memegang pisau dan garpu meregang. "Sampai kapan?" desaknya.
Aku menggeleng. "Mas, aku minta maaf, tapi aku benar-benar belum siap."
"Bagaimana kalau kita tunangan dulu saja?" Dia seolah menemukan solusi.
Aku meraih gelas kaca, menggoyang isinya sebentar sebelum meminumnya sedikit. "Tunangan juga butuh kesiapan, Mas," ujarku setelahnya.
"Jadi, kamu mau hubungan kita kayak gini terus? Kita sudah dua tahun pacaran, Lila. Dan, kita juga sama-sama sudah dewasa." Wishnu tampak geram.
"Aku tau, Mas. Tapi aku benar-benar minta waktu. Tolong, Mas." Kali ini aku menatap Wishnu dengan tatapan memohon.
Dia mendesah kembali. Bukannya aku keras kepala. Ini horor buatku. Tunangan lalu menikah dengan Wishnu sedikit membuat kepalaku agak pusing. Tidak, segala kebaikan ada pada laki-laki itu. Maafkan aku yang bodoh karena belum juga mencintai laki-laki di hadapanku ini.
Wishnu meraih tanganku, mengenggamnya. Ibu jarinya mengusap punggung tanganku pelan. Tatapannya sayu, tapi senyum di bibirnya terulas. Aku tahu dia menyimpan kecewa padaku. Makan malam ini mungkin memang dia khususkan untuk membicarakan ini. Namun, lagi-lagi aku meminta kelonggaran waktu. Entah sampai kapan, aku juga tidak tahu.
"Baiklah, aku menunggumu sampai kamu siap. Tapi aku mohon jangan terlalu lama. Orang tuaku terus saja mendesakku. Kamu tau, 'kan? Mereka mulai mempermasalahkan umurku."
Aku mengangguk ragu. Tiga puluh dua, itu usia Wishnu sekarang. aku keterlaluan memang membiarkan laki-laki sematang dia untuk terus menunggu.
"M-Mas ...." aku membalas tatapannya ragu. "Kalau kamu, me-memang lelah menungguku. A-aku nggak apa-apa kalau kamu berni—"
"Please, Lila. Yang aku mau cuma kamu," potongnya cepat.
Aku mengangguk pelan. susah payah aku tadi mengucapkan itu padahal. Bukannya aku berharap dia memutuskan hubungan ini. Hanya saja kalau terus-terusan didesak seperti itu aku merasa tidak nyaman.
Aku meraih kembali gelas kacaku. Meneguknya perlahan. Namun, tiba-tiba saja aku terpaku saat kesegaran red wine mengalir ke tenggorokanku. Aku berusaha untuk tidak sampai tersedak. Dari balik gelas kaca, mataku melihat sekelebatan sosok Rafael. Apa dia ada di sini? Aku meletakkan gelasku segera. Lalu, mataku mengedar mencari sosoknya. Aku yakin tadi tidak salah lihat. Tapi, di mana dia sekarang?
"Kamu mencari siapa?" tanya Wishnu.
Aku tertegun. Lupa kalau sekarang aku masih bersama Wishnu. Aku tidak menemukan Rafael di mana pun. Aku harap itu hanya halusinasi. Astaga, aku sedang bersama Wishnu. Bisa-bisanya aku memikirkan laki-laki lain?
"Kamu coba ini, Lila, pasti kamu suka."
Aku memandang hidangan dessert yang Wishnu tunjukkan. Bentuknya lucu seperti rumah jamur.
"Ini apa?"
"Black forest."
Aku sedikit teralihkan dengan jawaban Wishnu. Serius itu black forest? Seakan tahu apa yang aku pikirkan, Wishnu berucap kembali.
"Bukan seperti black forest pada umumnya. Kamu bisa coba makan sekarang."
Dengan senang hati. Dari tampilannya saja sudah terlihat enak begini. Aku sendiri suka jenis dessert apa pun yang berbentuk cake. Aku segera mencoel sisinya dan memasukkan ke dalam mulut. Senyumku mengembang saat cake lezat ini berhasil menyentuh lidahku. Makanan mahal dan dimasak sama cheff profesional memang selalu menakjubkan rasanya. Wishnu paling tahu apa yang membuat hatiku berbunga seketika. Kalau tidak es krim ya cake. Aku tidak peduli soal kalori lagi jika lidahku sudah dimanjakan oleh kedua makanan manis itu.
"Setidaknya aku tau sesuatu yang membuat kamu tersenyum seketika. Tapi sayangnya, kamu belum juga yakin soal itu."
Dan, sesuatu yang tadi kurasakan manis di mulutku mendadak pahit saat tiba-tiba Wishnu mengucapkan itu dengan wajah sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Between 1 (END)
ChickLit°°FOLLOW AUTHORNYA DULU SEBELUM BACA YA GAES 😉 Bertemu dengan cinta masa lalu kadang terasa menyenangkan. Apalagi jika cinta itu sampai sekarang belum move on. Aku senang melihatnya kembali. Di sini dia begitu jelas terlihat. Bersamanya setiap wak...