Rafael menangkap tanganku begitu aku berdiri. Kepalanya mendongak melihatku."Mau ke mana?" tanyanya.
"Pulang," jawabku singkat.
"Pulang? Bahkan kamu belum cerita apa-apa."
"Nggak ada yang perlu diceritain juga."
"Kamu yakin?"
Aih, laki-laki ini tidak peka atau memang sengaja menggodaku.
"Duduk lagi sini."
Bukan dengan gerakan pelan, tapi dia menarik dan menyentak tanganku hingga aku jatuh tepat ke pangkuannya. Mataku kontan melebar mendapati wajahnya tepat di hadapanku dengan jarak yang sangat dekat. Serasa ada sesuatu yang menjalar naik ke ubun-ubun, lantas bergerak turun menyebar ke seluruh tubuh menjadi sebuah getaran yang menghangatkan namun juga mendebarkan.
Manik hitam pekat Rafael memandangku tanpa berkedip. Aku merasakan suasana di sekitar hening. Bahkan LCD yang tadi menampilkan gambar bergerak pun seolah terhenti. Hanya ada suara deguban jantungku yang menggila seiring dengan napas Rafael yang makin terasa dekat membelai wajahku.
Bukannya aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Hanya saja, aku sendiri tidak tahu, kenapa tubuh ini seolah membeku, sulit untuk aku gerakan.
Sinyal dalam otakku menyuruh agar aku segera menyingkir, atau menghalau wajah Rafael yang kian mendekat. Tapi apa yang aku lakukan justru bertolak belakang dengan perintah akal logika itu. Dan entah untuk alasan apa, mataku malah terpejam.
Seperti sudah menjadi suatu kepastian yang memang harus terjadi, aku bisa merasakan benda kenyal itu menempel tepat di kedua belah bibirku dengan sangat lembut. Gerakannya pelan dan tidak menuntut. Bahkan tanpa sadar, aku membuka mulut, memberi akses Rafael agar memperdalam ciumannya.
Ini hal gila ke sekian yang aku lakukan. Mengabaikan detak jantung di dadaku yang seolah hendak keluar dari tempatnya. Perlahan aku membalas pagutan itu. Tanganku pun terulur membelai rahang Rafael.
Ciuman yang tadi lembut, terasa mulai memanas. Bahkan aku terkejut dengan diriku sendiri yang dengan luwesnya menyambut lumatan Rafael. Aku benar-benar sudah tidak tertolong lagi.
Sampai aku tidak menyadari, sekarang posisiku sudah berada di bawah laki-laki itu. Aku merutuki diriku sendiri saat sebuah desahan lolos dari mulutku tanpa bisa aku cegah, ketika bibir Rafael pindah ke perpotongan leherku. Laki-laki itu mengecup dengan lembut. Belum lagi sensasi gesekan antara hidung mancungnya dan kulitku. Rasanya bagai disetrum aliran listrik berkilo-kilo watt. Luar biasa membuatku terlena.
Kuraih wajahnya, dan bibir kami bertemu kembali. Aku menyentuh sebelah pipi Rafael dan mengusapnya lembut. Laki-laki itu mengerang pelan dan aku terpekik kaget saat Rafael tiba-tiba menggigit bibir bawahku. Menjadikan tindakanku itu sebagai kesempatan baginya untuk menyusupkan lidahnya ke rongga mulutku.
"Ugh... Kalila." Rafael berbisik pelan di sela ciuman kami. Napas lelaki itu terasa berat dan sejenak aku merasakan aura 'berbahaya' pada dirinya.
"Ra-Rafael?"
Aku mencoba menyadarkan Rafael dan berhasil. Bibir lelaki itu menjauh dan tatapan kami bertemu. Sejenak aku terpaku melihat bibir Rafael merah merekah di hadapanku. Jejak ciuman sensual yang barusan kami lakukan tercetak jelas di sana.
"Ini sepertinya-"
"Kalila."
Rafael memotong kalimatku dan aku bisa melihat kilat berbahaya dari tatapan matanya. Aku pikir dia akan berhenti saat dia memanggil namaku barusan. Namun, ketika laki-laki itu kembali menyurukan wajah di leherku dan membisikkan sesuatu, aku yakin ini tidak akan cukup sampai di sini saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
In Between 1 (END)
ChickLit°°FOLLOW AUTHORNYA DULU SEBELUM BACA YA GAES 😉 Bertemu dengan cinta masa lalu kadang terasa menyenangkan. Apalagi jika cinta itu sampai sekarang belum move on. Aku senang melihatnya kembali. Di sini dia begitu jelas terlihat. Bersamanya setiap wak...