PART 19

2.2K 236 20
                                    

Aku, Via dan Farhan serentak saling melempar pandang. Tiba-tiba saja Rafael meminta deadline pada setiap masing-masing sub bagian. Namun, selang beberapa detik kami sibuk di depan komputer dan menginstruksi semua staf agar menyerahkan laporan mereka. Astaga! Rafael lagi kesambet setan apa?

Tadi pagi tuh dia datang dengan muka tak bersahabat sama sekali. Berdiri sejenak di tengah kubikel para staf meminta semua sub bagian mengumpulkan deadline, lalu dia bergegas ke ruangannya dengan muka yang nampak makin mencekam.

Deadline masih kurang seminggu lagi. Biasanya aku dan lainnya akan menyelesaikan tiga hari sebelum Randy—kabag keuangan yang dulu— memintanya. Revisi kadang terjadi makanya kami juga antisipasi soal itu. Tapi ini? Memang sih semua laporan divisi lain sudah masuk ke sini. Tapi belum semua kami follow-up.

Aku meneguk ludah. Begitu pun Via dan Farhan di sebelahku. Kini kami sedang menghadap Rafael di meja kebesarannya. Gumaman tidak jelas beberapa kali keluar dari mulutnya. Dia sedang memeriksa hasil kerja kami yang aku pastikan akan dapat hujatan.

Braakkkk!!!

Aku hampir saja melonjak. Farhan sudah terlebih dulu mengelus dada. Dan, Via mengigit bibir bawahnya cemas. Tiga tumpuk dokumen sukses terhempas di atas meja.

"Kerjaan kalian sebenarnya ngapain aja? Staf yang kalian bawahi masih kurang cukup hanya untuk ngerjain hal beginian? Sub anggaran, sub akuntansi,sub pembendaharaan apa kalian sekompak ini untuk membuat laporan? Bahkan setengahnya saja ini nggak ada!"

Kami menunduk dalam. Aku berkomat-kamit dalam hati.

"Kalian memangnya mau ngumpulin kapan? Menunggu mepet deadline begitu? Apa kalian yakin tidak akan ada revisi dari laporan yang kalian buat?"

Aku belum pernah melihat Rafael seberang ini sejak kehadirannya di kantor. Beberapa hari ini aku agak mengurangi komunikasi dengannya. Dan, aku tidak pernah menduga jika hari ini bakal kena semprot.

"Farhan, Via, Kalila. Saya tidak mau tau. Besok kalian sudah harus membereskan semua laporannya. Karena besok pagi juga sudah langsung di kirim ke divisi untuk diteruskan ke Direktur Keuangan."

"Baik, Pak!" kami kompak menjawab.

Dengan tangan gemetar Farhan mengambil dokumen yang tadi Rafael hempaskan di atas meja.

"Kalian boleh keluar." Rafael kembali menghadap laptopnya.

Via dan Farhan keluar secara bergantian. Aku sempat menoleh pada Rafael yang terlihat sudah serius dengan pekerjaannya kembali.

"Kalila, kamu tetap di sini."

Aku berjengit kaget. Via dan Farhan sudah tak tampak di balik pintu. Aku terpaksa memutar langkah kembali ke hadapan Rafael.

"Duduk," perintahnya tanpa memandangku. Aku buat kesalahan apa lagi? Semenjak dia jadi kepala di sini, rasa-rasanya aku sering sekali terlibat masalah dengan pekerjaan.

Aku beringsut duduk. "A-ada apa, Pak?" tanyaku agak sedikit bergetar.

Rafael tidak langsung menjawab. Dia masih sibuk dengan keyboard pada laptopnya. Sedang aku mulai resah. Dua menit, lima menit, sepuluh menit. Astaga sebenarnya ada apa dengan laki-laki itu? Apa aku hanya disuruh diam di tempat dan melihatnya bekerja?

"Pak, maaf. Kalau tidak ada yang harus saya lakukan. Saya pamit dulu. Karena saya harus mengerjakan lapo—"

"Hrrggggh!"

Aku terperanjat. Tidak menyangka akan membuatnya sekesal itu. Aku menundukkan kepala cepat. Tapi, masih bisa kulihat Rafael mengusap wajah dengan kedua tangannya. Lalu beberapa kali dia menghela napas. Dan, matanya lantas menyorotku yang diam ketakutan. Mukanya masih semasam tadi.

Jantungku sudah sejak tadi berdetak tak keruan. Kali ini bukan karena dibuat baper dengan tingkah Rafael, tapi deg-degan murni karena takut dengan kemarahan yang akan laki-laki itu luapkan. Napasku naik turun tak beraturan.

Lama Rafael menatapku, seolah sedang menghujamkan amarah yang masih juga belum dia semburkan. Aku rasakan dia beranjak dari kursinya memutari meja dan sedetik kemudian dia memutar kursiku menghadapnya membuatku memekik dengan mata terpejam.

Rafael mencodongkan badannya. Kedua tangannya menompang pada kedua sisi kursi yang aku tempati. Aku terkurung oleh lengan kokohnya. Mataku masih memejam. Deru napas Rafael bisa aku rasakan. Sebenarnya ada apa dengannya? Kenapa dia seperti ini?

"Kamu tau apa yang saya rasakan?" katanya nyaris mendesis.

Aku yang masih takut menggeleng dengan mata yang masih tetap memejam. Meskipun begitu, aku bisa merasakan kalau wajahnya semakin mendekat. Jantungku terus memompa dengan kecepatan tinggi. Dan, beberapa detik kemudian suaranya bergetar tepat di dekat telingaku.

"Saya cemburu."

Mataku sontak terbuka. Rafael sudah kembali berdiri tegak. Aku masih syok di tempatku. Tidak mengerti maksudnya apa mengucapkan dua patah kata dengan posisi seperti itu. Apa dia tidak pernah berpikir bahwa perbuatannya membuatku hampir tidak bisa bernapas?

***

Aku masih disibukkan dengan pekerjaan saat Wishnu memberitahu bahwa dia pulang kembali ke Bogor. Dia tidak jadi mengambil cuti tiga hari. Ada pasien darurat yang membutuhkan tenaganya. Aku tidak begitu menghiraukan. Karena aku sendiri juga sedang mengerjakan laporan darurat secara marathon. Bagaimana tidak? Setelah keluar dari ruangan Rafael, aku kembali meminta staf untuk segera menyelesaikan tugas mereka agar secepat mungkin bisa diteruskan masuk ke laporan yang aku buat.

Sebenarnya ucapan Rafael tadi masih mengganjal. Namun, aku singkirkan sejenak. Mengingat pekerjaan lebih penting dari ucapan yang bahkan aku sendiri tidak tahu maksudnya apa. Anggap saja Rafael sedang kesambet setan penunggu kantor ini. Salah sendiri saat pertama kali datang dia tidak melakukan syukuran.

"Apa laporan lo bisa selesai hari ini, Lil?" tanya Via. Matanya terlihat kuyu. Mungkin dia kelelahan. Siang tadi dia nyaris tidak makan.

"Kayaknya gue lembur malam ini."

Via mengangguk. "Pak Rafael sepertinya lagi dalam mood yang kurang bagus. Sebenarnya apa yang sudah lo lakuin sih, Lil?"

Aku mengernyit memandang Via. "Kok gue? Emang apa yang gue lakuin?"

"Gue yakin pasti lo penyebab dia pagi-pagi sudah meradang."

"Kenapa harus gue gitu loh. Kali aja kan dia punya masalah pribadi yang dibawa-bawa ke kantor. Terus kita kena imbasnya. Apa lo nggak liat tadi juga gue kena semprot bareng kalian?"

"Tapi tadi lo yang terakhir keluar. Lumayan lama lagi di dalam. Memang kalian ngapain aja?"

Aku langsung menelan ludah. Mengingat kejadian tadi pagi. Bingung harus menjawab apa pertanyaan dari Via itu? Karena memang aku di sana tidak melakukan hal apa pun selain menunggui Rafael meluapkan sisa amarahnya tadi.

"Tadi Pak Rafael sedikit ngasih gue instruksi agar gue segera menyelesaikan laporan tepat waktu."

Via menatapku tak percaya. Duh! Aku harus beralasan apa lagi?

"Lo tau 'kan laporan akuntansi harus gue buat sedetil mungkin dan harus seimbang. Si Bos hanya nggak mau ada kesalahan, itu saja."

Aku langsung berpaling menghadap komputer sebelum Via melempar pertanyaan lain yang akan membuatku semakin terpojok. Rafael, dia benar-benar membuatku merasa sulit. Aku tidak mau lagi dipandang curiga.

Via memang tidak melanjutkan percakapan itu. Dia langsung kembali tenggelam dengan pekerjaannya. Aku bernapas lega.

"Kayaknya dia cemburu deh, karena dua hari ini lo dijemput sama cowok."

Tanganku yang hendak menekan tombol enter pada keyboard komputer  seketika terhenti. Celetukan Via itu benar-benar berbahaya. Dia itu seperti cenayang yang bisa menebak sesuatu dengan tepat. Bahuku luruh, Via itu ... memang menyebalkan.

In Between 1 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang