Aku tidak tahu sekarang sudah pukul berapa. Mungkin sudah sangat larut. Mataku masih terjaga begitu juga Rafael di sebelahku. Dia terus saja mengelus rambutku. Sesekali memainkan jemariku lalu menciumnya. Aneh, tapi perlakuannya itu membuat hatiku berdesir hangat.
Entah bagaimana caranya aku bisa sampai di atas tempat tidur Rafael. Berbaring dan berbantalkan lengan laki-laki itu. Jangan berpikir macam-macam. Kami tidak melakukan apa pun. Hanya tidur bersisian saja. Meskipun tadi ciuman kami sangat menggebu-gebu, tapi kami tahu batasan.
Rafael menyayangiku, bukan ingin merusakku. Jadi saat dia memintaku untuk menemani dia tidur dalam artian yang sesungguhnya, tubuhku langsung melayang karena Rafael mengangkatnya dan membawaku ke kamar.
"Jadi, tantemu sudah setuju kalau kita bersama?" tanyanya setelah aku bercerita mengenai obrolanku dengan Tante Vira sore tadi.
"Aku nggak bilang seperti itu. Lagi pula, aku nggak membawa namamu pada masalahku."
"Kenapa kamu nggak jujur kalau kita punya hubungan?"
"Dengan resiko nggak akan pernah dapat restu dari tante selamanya?"
"Ya nggak gitu juga. Kan tantemu tau keinginanmu. Yaitu menikah dengan orang yang kamu cintai."
"Rafael, urusan hati nggak sesimpel itu. Pengalaman buruk tante sudah membuktikannya."
"Itu karena tantemu Nggak—"
"Lebih baik nggak usah dibahas. Nggak akan ada habisnya," potongku. Rafael tersenyum lalu mencium telapak tanganku yang terangkat menutup mulutnya.
"Jadi, apa yang akan kita bahas?"
"Nggak ada, aku mau tidur. Ngantuk."
"Oke, sini. Akan aku buat kamu tidur nyenyak di pelukanku."
Sejujurnya aku belum mengantuk. Bagaimana bisa aku tidur dengan posisi seperti ini? Maksudku, ada Rafael di sampingku. Baru kali ini, aku tidur bersama laki-laki. Dan berharap tidur nyenyak? Aku rasa sulit.
Pukul tiga pagi mataku baru terpejam sempurna. Saat seberkas sinar menganggu tidurku, aku menggeliat. Aku tarik selimut menutupi seluruh badanku. Masih sangat mengantuk, matahari tidak boleh seenaknya mengganggu tidurku yang belum puas.
Aku menarik kedua lutut, menggelung diri di bawah kain hangat. Tapi rasanya ada seseorang yang menarik selimutku, karena tiba-tiba hawa dingin AC menyergap.
"Mbok, sebentar lagi. Ini weekend. Aku masih ngantuk," gumamku masih belum sadar.
Aku beneran masih ngantuk. Harusnya Mbok Marimar paham.
Aku bisa merasakan tempat sebelahku melesak. Sepertinya ada seseorang yang duduk di sana. Tapi aku masih tidak peduli. Rasa kantuk mengalahkan segalanya.Awalnya aku menikmati sebuah elusan yang merayap di lenganku. Tapi lama kelamaan ada yang janggal. Siapa yang melakukan ini?
Mataku sontak terbuka. Dan tepat di hadapanku wajah Rafael tersenyum manis. Aku memang gila, pagi-pagi sudah berhalusinasi. Oh bukan, mungkin memang aku masih bermimpi.
"Bangun, Sayang. Ini sudah pagi. Kita sarapan yuk."
Saat bayangan itu mengeluarkan suara yang bisa aku tangkap dengan jelas, aku baru sadar bahwa ini bukanlah mimpi. Seketika itu juga aku meloncat dari tempat tidur.
"Astaga! Ini jam berapa? Aku harus segera pulang."
Kalau Tante Vira pulang jaga dan dia tidak menemukanku, bahaya. Aku juga tidak sempat kasih kabar apa pun pada Mbok Marimar. Ah, kenapa aku bisa lupa.
"Tenang dulu, Kalila. Kamu baru bangun. Nanti kepalamu pusing."
"Kenapa kamu baru bangunin aku?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
In Between 1 (END)
ChickLit°°FOLLOW AUTHORNYA DULU SEBELUM BACA YA GAES 😉 Bertemu dengan cinta masa lalu kadang terasa menyenangkan. Apalagi jika cinta itu sampai sekarang belum move on. Aku senang melihatnya kembali. Di sini dia begitu jelas terlihat. Bersamanya setiap wak...