PART 25

2.3K 216 10
                                    


"Maaf aja ya, gue ke sini tuh diundang. Bukan buat traktir kalian."

Aku berkedip. Setelah sekian lama aku baru mendengar kembali Rafael berlo-gue. Di sini dia terlihat sangat santai, tidak seformal saat di kantor atau pun saat sedang bicara padaku.

"Okeh, okeh nikmati saja." Wanita cantik itu menoleh padaku. "Hai, gue Santi." Dia memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tangan. Tapi mata ramahnya mengerjap cantik.

"Kalila."

"Oke, Kalila, pesanlah minuman sesukamu, ya."

Aku Cuma tersenyum. Ersa sudah mewanti-wanti agar aku tidak minum sesuatu yang mengandung alkohol barang secuil pun.

Rafael membawaku duduk di sofa yang menghadap meja kecil. Melihat gemerlapnya lampu serta musik yang menghentak seolah menyadarkanku bahwa tempat ini bukan 'gue banget'. Ditambah lagi bau rokok dan sederet minuman yang satu gelas kecilnya bisa mencapai harga ratus ribuan.

"Jadi, gimana kabar keluarga lo di Surabaya?" salah seorang dari mereka yang memiliki sepasang alis tebal bertanya pada Rafael.

"Mereka baik," jawab Rafael singkat.

Aku sedikit tertarik dengan obrolan ini. Keluarga, mereka membahas keluarga Rafael. Entah apa sebabnya dulu Rafael pindah dari Jakarta ke Surabaya.

"Tidak ada niatan memangnya lo buat balik lagi ke Jakarta? Megang Eaglefood mungkin, kan sekarang lo lagi di sana."

Rafael menggeleng.

"Mana mau dia pegang Eaglefood, di Surabaya yang lebih gede juga ada," Santi menimpali.

Aku hanya diam memainkan ponsel padahal aku pasang telinga dengan seksama meskipun agak sedikit terganggu dengan suara musik yang terus mengentak.

"Ya nggak gitu, San, semua kan sudah ada manajemennya masing-masing." Rafael masih menjawab dengan santai.

"Serah lo lah, bos. Cucu pemilik Jazid Grup mah bebas mo pindah ke mana aja."

Aku menoleh cepat. Itu tadi suara Bara. Lelaki itu tertawa dan mengambil gelasnya.

Cucu Jazid Grup? Siapa? Rafael?
Aku memandang Rafael tak menyangka. Aku pikir dia hanya atasan pengganti saja yang kebetulan ditugaskan dari pusat ke anak cabang. Kalau memang dia cucu pemilik Jazid grup berarti dia itu ... tajir gila dong!
Aku menelan ludah. Merasa jatuh secara tiba-tiba. Berani-beraninya aku menyukai orang seperti Rafael?

Rafael mengangkat tangannya memanggil seorang waiter yang kebetulan lewat membawa sebuah nampan berisi aneka minuman warna-warni. Dia lalu mengambil segelas. Dan, menyerahkan padaku.

"Ini jus, kamu minum ini saja."

Dengan ragu aku menerima gelas itu. Sungguh kegugupanku pada Rafael bertambah dua kali lipat setelah tahu dia ternyata salah satu orang terpenting di perusahaan.

"Apa kamu masih betah di sini?" tanya Rafael menatapku.

"Apa acaranya masih lama?" tanyaku balik.

"Biasanya mereka akan turun ke bawah dulu."

Yang dimaksud turun adalah mereka akan menari-menari di atas dance floor. Aku mengangguk ragu.

"Apa kamu mau mencobanya?" tanya Rafael lagi tersenyum simpul.

"Saya? Ah, nggak, saya nggak bisa menari."

"Kalau gitu, saya akan menemani kamu di sini."

Dan, tak berapa lama. Teman-teman Rafael memang turun ke lantai dansa. Berajojing ria di bawah sinar lampu aneka warna. Bergoyang seirama dengan entakan nada.

In Between 1 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang