PART 57

5.1K 212 44
                                    

Akhirnya sampai di part terakhir nih cerita. Namun, bagi yang mau baca kelanjutannya boleh banget, ya.

Sekarang kita cuss ke bab terakhir. Happy reading dan thanks udah dukung sampai sejauh ini.
❤️❤️❤️

Aku bersyukur penerimaan Tante Vira pada Rafael sekarang baik. Dia malah meminta Rafael agar segera menikahiku. Keinginannya terlalu menggebu menurutku. Tidak biasanya dia seperti itu. Apa karena khawatir aku tidak laku? Ya ampun Tante, ini Jakarta. Angka 28 masih belum menjadi angka yang menyeramkan. Setidaknya aku masih punya waktu dua tahun lagi untuk bisa bersenang-senang.

"Lo harusnya bahagia, karena jodoh lo udah tampak hilalnya. Nggak kayak gue. Kira-kira kapan keluarga Rafael datang menemui Tante?" tanya Ersa.

Aku berada di kafenya selepas kerja. Sudah satu minggu sejak kejadian Rafael melamarku di acara reunian. Dia juga sudah kembali ke Surabaya. Jadi, sekarang aku kembali ke rutinitasku. Menyambangi Ersa tiap pulang kerja jika Tante Vira jaga malam, seperti sekarang ini.

"Gue nggak tahu. Belum dibicarakan lagi. Nanti sajalah, toh gue nggak buru-buru juga." Aku mengaduk jus apel.

"Yang kayak gini tuh nggak boleh ditunda-tunda. Banyak godaan di mana-mana, Lil. Contohnya yang sekarang sedang menuju ke sini."

Dahiku berkerut, tapi kemudian menyadari sesuatu ketika mata Ersa tak lagi fokus pada coffe maker-nya.

"Siapa?"

"Brondong elo."

Tidak lama dari itu, sapaan ramah ciri khas Milan terdengar. Oh My God. Lelaki ini ternyata tidak gentar meskipun aku sudah memasang cincin pemberian Rafael di jari manisku. Ajakannya makan malam waktu itu ternyata bukan main-main. Beberapa kali dia menanyai kesediaanku. Aku belum menjawab pasti. Tepatnya tidak mau menjawab, aku bingung cara menolaknya.

"Mbak Lila udah lama di sini?" tanya Milan duduk di kursi sebelahku. Sejak dia mulai mendekatiku dalam artian yang sebenarnya, aku tidak lagi berani menggodanya seperti yang sudah-sudah.

"Nggak sih, mungkin baru sekitar sepuluh menit lalu." jawabku tersenyum tipis.

"Milan aku rasa utangmu di kafe ini udah lunas deh. Jadi, kenapa masih datang saja?" tanya Ersa. Aku tahu itu cuma pancingan.

"Mbak, jangan ngomongin utang di depan Mbak Lila dong. Bikin malu saya saja."

Ersa tertawa melihat Kang Daniel kw ini mukanya memerah. "Sekarang mah enggak bakal ngebon lagi ya. Secara gajimu saja sudah bisa buat bayar cicilan mobil baru."

"Mbak Ersa, jangan buka kartu juga kalau mobilnya dapat dari nyicil." Milan bersungut. Wajah putihnya masih belum hilang dari rona memerah.

"Jadi, kamu mau apa ke sini?"

"Mau makanlah, Mbak, emang nggak boleh saya makan di sini? Saya bayar kok."

"Bener cuma makan? Nggak ada maksud lain?"

Aku hanya diam memperhatikan percakapan mereka sembari mengaduk-aduk minumanku. Aku bukannya tak sadar kalau Milan sekarang sedang melirikku. Aku hanya ingin menjadi manusia tidak peka, khususnya pada lelaki di sebelahku ini yang makin jelas menampakkan ketertarikannya padaku.

Mengabaikan ucapan Ersa, Milan malah bertanya kepadaku. "Mbak Lila udah makan? Kalau belum, sekalian saja pesan makan."

"Nggak, Milan, aku makan di rumah. Mbok Marimar sudah memasak menu spesial untukku. Sayang kalau nggak aku makan."

Dulu aku akan dengan senang hati menerima tawarannya. Tapi sekarang? Aku tidak mau memberinya celah sedikit pun.

"Yaah, makan sendiri lagi deh."

In Between 1 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang