PART 6

3.9K 333 28
                                    


Aku langsung menuju perpus saat jam pelajaran sosiologi ternyata kosong. Tidak kosong sepenuhnya sih. Masih ada tugas yang harus diselesaikan. Aku lebih memilih mengerjakan tugas itu di perpus. Karena kalau masih bertahan di dalam kelas, aku yakin tugas itu tidak akan pernah selesai. Karena, kelasku biang onar.

Ada beberapa anak yang sudah menduduki meja-meja di sana saat aku baru masuk ruangan yang penuh berderet-deret buku ini. Aku menduduki meja paling belakang biar bisa fokus mengerjakan tugas.

Aku baru mengerjakan setengah dari tugasku saat kurasakan ada orang lain yang duduk di sampingku. Tiba-tiba saja tengkukku menghangat serasa ada aliran darah yang tiba-tiba berdesir cepat menuju ubun-ubun. Pelan aku menoleh ke samping kiriku dan mendapati hidung bangir dengan sebuah kaca mata bertengger di atasnya. Ra-Rafael. Sontak jantungku berdegup keras. Tanganku mendadak agak sedikit bergetar. Bolpoin yang aku pegang pun mencoret tulisan yang ada jawaban tugasku di sana. Kehadirannya itu benar-benar petaka.

Aku berdiri hendak mencari tempat duduk lain. Tapi tiba-tiba dia yang di sampingku bersuara membuat dadaku semakin berdebar.

"Kamu mau kemana?" wajahnya mendongak ke arahku yang sudah berdiri. Maniknya jatuh tepat di mataku. Astaga kenapa dia bisa setampan ini?

"A-aku mau kembali ke kelas," jawabku gugup. Susah payah aku menelan ludah.

"Bukannya kelasmu kosong?"

"I-iya."

"Kamu sudah menyelesaikan tugasmu?" Dia melirik buku yang ada di dekapanku.

"Tinggal sedikit lagi. Biar aku kerjakan di kelas saja."

"Kenapa?"

"Aku—"

"Di sini aja, apa mau aku bantu menyelesaikannya?"

Aku mengerjap beberapa kali. Dan mataku melebar saat tangannya meraih lenganku untuk duduk kembali ke tempat semula.

"Aku masih ingat namamu, Kalila 'kan?"

Aku mengangguk. Dan dia tersenyum, senyum termanis yang pernah aku lihat. Sungguh aku ingin sekali menampar wajahku sendiri untuk memastikan ini bukan sekedar halusinasi.

"Oke Kalila, kamu sudah sampai nomer berapa?"

"Tak perlu. Terima kasih. Ini tugas kelas IPS, kamu kan anak IPA."

"Memangnya kenapa kalo anak IPA?"

"Di kelasmu pasti nggak ada ilmu sosiologi. Itu akan merepotkan kalo kamu membantuku."

"Kamu tinggal tunjukin bab mana aja yang jadi tugas. Aku akan coba membantu mencari jawabannya. Pasti akan cepat selesai kalo soalnya kita bagi."

Aku tersenyum. Dia memang benar. Tugasku akan cepat selesai dan aku bisa berselancar mencari buku bacaan lain di sini.

"Aku suka senyum kamu."

Mendadak senyumku raib. Mukaku terasa panas. Aku benci mengakui ini, tapi sumpah perutku terasa geli karena banyak kupu-kupu yang berterbangan di sana. Aku memang receh. Hanya karena dia bilang suka senyumku saja sudah sepanas ini. Gimana kalau dia bilang suka padaku? Ah! Itu hanya di mimpiku saja. Tidak akan pernah terjadi hal semacam itu.

***

 

Aku menggeliat dan mataku terbuka. Menengok kanan kiri, tidak kutemukan cahaya yang masuk. Aku terjaga dan tersenyum sendiri saat aku mengingat mimpi yang baru saja menghampiri tidurku. Rafael.

In Between 1 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang