PART 32

2K 206 11
                                    

Aku menjawab dengan kejujuran yang penuh tertumpah. Tante Vira terenyak lalu termangu. Dia tidak yakin dengan apa yang kuucapkan barusan. Dia tidak percaya.

"Lil, kamu jangan main-main. Aku carikan kamu calon suami. Bukan pacar yang bisa kamu mainkan perasaannya."

"Tapi aku sudah lelah mencoba dan belajar mencintainya selama dua tahun ini, Te," jawabku membela diri. Entah dari mana datangnya, kekuatan pada diriku untuk bercerita hal yang sebenarnya pada Tante Vira. Lambat laun cinta pura-puraku pada Wishnu akan ketahuan belangnya.

"Keras kepala kamu!"

Gantian aku yang terenyak, Tante Vira tidak pernah semarah ini sebelumnya. Ada aura kemarahan yang menyala-nyala di wajahnya.

"Kamu pengin jadi perawan tua kayak, Tante?'

Aku kebingungan, tidak tahu harus menjawab apa. Sepertinya Tante Vira terlalu khawatir padaku, sampai-sampai harus memberi alasan yang mengada-ada. Perjalanan cintaku rasanya masih panjang. Kalaupun harus putus dari Wishnu, aku yakin akan ada Wishnu lain yang mencintaiku dan aku juga, mencintainya. Bayangan Rafael datang. Iya mungkin saja laki-laki itu adalah dia.

Tante Vira masih memandangku dengan tatapan nanar. "Kamu tidak mau jadi perawan tua, 'kan?"

Aku menggeleng. "Tapi aku mau menikah dengan orang yang aku cintai. Aku belum tau siapa dia, tapi aku yakin, Te, orang itu pasti ada. Bukankah Tante yang selalu mengajariku untuk punya mimpi? Mimpi akan memberimu semangat untuk meraih keinginan, karena sesungguhnya orang yang bermimpi itu sudah meraih separo dari yang diimpikan itu. Tinggal tunggu waktu saja."

Oh, bebalnya aku. Keras kepalanya melebihi Tante. Aku lihat Tante Vira mulai putus asa. Tidak ada gunanya memberi nasihat sampai berbusa-busa. Baru kali ini aku mendebatnya, tidak menurut perintahnya.

Tante Vira menundukkan kepala. Ditepuknya punggungku berulang kali. "Aku nggak tau harus berbuat apa. Kamu yang menjalani. Aku hanya ingin masa laluku nggak terulang kembali pada dirimu."

Aku jadi menyesal setelah itu, rupanya kemarahan Tante mulai melumer. Air mataku rasanya mau keluar.

"Kenapa Tante nggak menikah sampai sekarang? Karena dulu Tante juga keras kepala kayak kamu," jelas Tante.

Aku mendongak. Tante Vira tidak pernah bercerita tentang asmaranya padaku.

"Dulu, Tante dijodohkan oleh Eyang. Tapi Tante ngotot nggak mau, karena Tante sudah punya pacar. Sampai Tante bela-belain backstreet. Tapi yang terjadi setelahnya, pacar Tante malah dijodohkan orang tuanya dan meninggalkan Tante begitu saja. Menyakitkan, Lil. Membuat Tante selalu takut untuk berpacaran. Jangan-jangan nanti ditinggal kawin lagi. Cukup sekali patah hati, nggak mau kedua, ketiga, dan seterusnya. Makanya tantemu ini nggak menikah sampai sekarang," terang Tante Vira sambil matanya menerawang jauh.

Terharu mendengar ceritanya, segera kupeluk Tante erat.

"Tante nggak perlu khawatir berlebihan. Biar aku jalani. Aku punya takdir sendiri. Yang pahit sekali pun siap aku hadapi. Kehilangan bapak dan ibu itu berat sekali, tapi aku bisa melewatinya. Apa lagi hanya masalah laki-laki. Aku yakin bisa mengatasinya."

Giliran Tante yang memelukku haru. Aku pun tersedu di pelukannya. Pengalaman Tante Vira memang pahit. Aku bicara begitu juga untuk memberi kekuatan pada diriku sendiri. Aku tidak tahu, rintangan apa lagi yang akan aku hadapi soal hubungan asmaraku.

Tapi, aku merasa lega. Karena sudah jujur pada Tante soal yang selama ini mengganjal dalam hatiku.

***

Aku keluar dari rumah, saat Tante Vira berangkat ke rumah sakit. Dia jaga malam. Aku pikir akan buruk, saat aku menceritakan semua apa yang aku rasakan tentang Wishnu. Syukurnya, Tante mau mengerti. Tapi seandainya saja, Tante tahu hubunganku dengan Rafael, mungkin dia tidak akan melumer. Sebisa mungkin aku menjelaskan, tanpa ada sangkut pautnya dengan laki-laki itu. Pun sebelum kedatangan Rafael, kehidupan cintaku dengan Wishnu terasa datar.

Aku tersentak, saat menyadari kakiku sudah berpijak di sebuah lantai gedung apartemen di mana Rafael tinggal. Rasanya, aku tadi tidak sedang menuju ke sini. Dan, yang lebih membuatku terkejut, ternyata aku sudah berdiri tepat di depan pintu unit Rafael.

Mataku mengerjap beberapa kali. Entah siapa yang membawaku sampai ke sini. Bahkan, aku tidak ingat saat taksi online yang aku tumpangi menghentikanku di sini. Sehingga berujung pada diriku yang kebingungan sendiri di depan pintu yang aku sendiri tidak tahu penghuninya ada atau tidak.

Aku baru akan melangkahkan kaki, saat tiba-tiba pintu terbuka dari dalam.

"Kalila?"

Rafael yang sudah memakai piyama panjang, keluar dari unit dengan membawa sebuah kantong plastik besar. Rautnya terheran-heran melihatku.

Aku meringis seperti orang bodoh. Kalau aku pintar, tidak mungkin aku berada di sini. Aigoo...

"Kamu ...  Mau ke sini?" tanya Rafael masih dengan muka heran. Itu sungguh membuatku keki setengah mateng.

"Tadi aku ... oh aku habis dari Ersa, terus mampir...."

Aku tersenyum. Semoga saja senyumku tidak terlihat aneh.

"Terus, kenapa itu mau pergi? Kenapa nggak bunyiin bel?"

Soalnya aku nyasar.

"Aku pikir kamu sudah tidur,  jadi ya sudah, aku pulang saja."

"Aku memang sudah pake piyama tidur, tapi aku belum mengantuk. Apa kamu mau temeni aku?"

"Ya?"

"Kamu tunggu di sini sebentar. Aku buang ini dulu."

Aku menengok plastik besar yang dari tadi Rafael bawa. Ternyata isinya sampah.

Tidak berapa lama, Rafael kembali dan langsung mengajakku masuk ke dalam unitnya.

"Duduk, aku ambilkan kamu minum."  Rafael mendudukanku ke sofa putih, berhadapan dengan layar LCD 42 inch yang sedang menampilkan sebuah film aksi hollywood.

Rafael kembali dari dapur membawa segelas minum, lalu memberikannya padaku.

"Minum dulu," katanya seraya duduk di sebelahku. Salah satu tangannya menopang kepala dengan siku yang menyender di punggung sofa. Matanya melihatku yang tengah meneguk air minum, hingga isinya hanya tersisa setengah.

"Kamu haus?" tanyanya tersenyum.

Aku menyerahkan gelas itu kembali padanya. Dan tanpa aku duga, Rafael mengosongkan isinya.

"Itu 'kan...  Bekas aku?"

"Enak kok."

Kata-katanya singkat,  tapi itu sanggup membuat pipiku terasa panas. Aku mengalihkan pandang segera, ke mana pun asal tidak pada wajah ganteng laki-laki di sampingku.

"Jadi, kamu kenapa? Ada masalah di rumah?" tangan Rafael sudah bertengger di atas kepalaku. Mengusap lembut helaian rambut yang ada di sana. Aku harusnya fokus pada apa yang Rafael tanyakan. Tapi, detak jantung sialan ini malah membuat konsentrasiku menjadi kacau.

Bagaimana tidak? Bukan hanya usapannya yang lembut, tatapannya sekarang juga sama. Bukannya menjawab, aku seolah tersihir pada pesonanya.

"Aku... "

"Hmm?"

Astaga Baaaang....  Itu mata bisa dikondisikan nggak sih???

Aku tambah salting dibuatnya. Mungkin solusi terbaik aku harus keluar dari tempat ini.

"Aku mau pulang aja," kataku berdiri segera.

Kalila muncul lagi, ada yang kangen???
Jangan lupa yee gaes...
Vote n komennya...
Salam cantik,

14-05-2020

Kalila

In Between 1 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang