PART 26

2.6K 237 9
                                    


Rafael belum menjalankan mobilnya. Dia masih terus memandangku yang tidak hentinya menangis. Satu kotak tissu yang ada di pangkuanku sudah habis setengah isinya.

“Apa kamu sudah tenang?” tanya Rafael untuk kesekian kalinya.

Aku mengangguk. Lalu dia mulai menyalakan mesin mobil. Dalam perjalanan, sesekali air mataku masih terus berlinang. Bayanganku sudah ke mana-mana. Bagaimana kalau tadi Rafael terbunuh. Seperti yang aku lihat di tivi-tivi, penjahat selalu membawa benda tajam yang terselip di bajunya. Aku benar-benar takut itu terjadi. Meskipun kenyataannya Rafael baik-baik saja. Tapi itu tidak lantas membuatku bersikap tenang.

Aku tidak sadar saat mobil Rafael berhenti. Yang aku tahu tiba-tiba saja laki-laki itu sudah membukakan pintu mobil, lantas membantuku melepas sabuk pengaman. Aku keluar dari mobil, menerima uluran tangannya. Aku hanya mengikut saja.
Aku yang masih agak sedikit syok hanya diam saat Rafael menekan tombol, lalu sebuah pintu besi terbuka. Rafael mengajakku masuk kedalamnya hingga pintu itu tertutup kembali lantas bergerak ke atas. Aku masih saja terpekur seperti orang yang kehilangan kesadaran. Beberapa kali Rafael menepuk punggung tanganku pelan. Pintu besi itu kembali terbuka. Dan dia membawaku lagi ke depan pintu lainnya. Ada deretan angka yang menempel pada pintu berwarna coklat kayu itu. Di sampingnya berderet tombol. Rafael menekan sebuah angka kombinasi pada tombol angka-angka itu. Lalu dia membuka pintu itu dengan mudah.

Aku masih bisa menyaksikan Rafael melepas sepatunya dan menaruhnya di sebuah rak yang ada di depan pintu masuk. Mataku memicing, merasakan hawa yang aneh. Tempat ini sepi? Dan ini seperti bukan rumahku. Lalu di mana Mbok Marimar berada?

“Maaf, saya membawamu ke apartemen saya.”

Aku tersentak. Seolah baru sadar akan sesuatu. Apartemen? Aku menoleh pelan pada pemilik wajah yang kini tersenyum lembut padaku.

“Ayo, masuk.”

“Tu-tunggu," ucapku gugup.

Rafael berhenti melangkah. Matanya seakan bertanya ada apa?

“I-ini di apartemen Bapak?” tanyaku masih seperti orang bego.

“Iya, Kalila. Dari tadi kamu masih saja menangis. Saya bingung. Jadi, saya bawa kamu pulang ke apartemen dulu sebelum kamu pulang ke rumahmu.”

“Ta-tapi—”

“Saya ambilkan kamu minum.” Rafael masuk tanpa menghiraukan aku yang masih kebingungan.

Mau tidak mau, aku menyeret kaki masuk ke lebih dalam lagi apartemen ini. Aku berdiri terpaku di ruang tamu saat Rafael muncul kembali dengan membawa segelas minuman.

“Ini kamu minum dulu.”

Aku menerima gelas itu. Tidak langsung aku minum. Perasaanku tidak enak. Harusnya aku pulang saja. Tidak berada di tempat ini.

“Ayo, kamu duduk saja.”

Aku mendekat ke sebuah sofa panjang berwarna putih, lalu duduk perlahan di sana. Rafael duduk di sofa kecil yang berseberangan dengan sofa yang aku tempati. Matanya masih terus mengamatiku. Demi Tuhan aku masih merasa bersalah atas kejadian di kelab. Wajah Rafael membiru.

“Apa ada kantong es dan es batu?” tanyaku kemudian.

“Ada di kulkas.”

Tanpa menunggu persetujuannya, aku beranjak ke dapur. Memutar es di frezzer, aku menemukan kantong es itu berada menggantung di samping kulkas. Aku memasukkan kotak-kotak es ke dalam kantong pendingin, lalu bergegas kembali ke depan.

“Biarkan saya mengompres muka Bapak.”

Rafael mengerjap namun tidak juga menjawab. Sejurus kemudian, aku mulai mengompress bagian wajahnya yang membiru. Itu pasti sakit.

In Between 1 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang