PART 2

5.9K 418 28
                                    

Aku melempar novel yang Ersa berikan kemarin. Ceritanya sangat konyol menurutku. Bagaimana mungkin ada seorang lelaki tampan dengan segudang prestasi bucin mati-matian dengan seorang gadis kalangan biasa? Lain hari Ersa memberiku novel yang menceritakan seorang laki-laki yang gagal move on dengan pacar masa lalunya, kemudian mereka tanpa sengaja dipertemukan kembali oleh takdir. Dan berakhir di pelaminan karena si lelaki terus memperjuangkan cintanya yang bertahun-tahun tidak pernah pudar. Yang benar saja! Ada gitu perasaan yang sudah menahun bisa bertahan? Itu mustahil. Ayolah, mana ada cinta monyet bikin orang jungkir balik setelah sekian lama hilang?

Bagiku memang tidak masuk akal. Tapi Ersa? dia akan membantah habis-habisan kalau aku berani mengeluarkan protes. Bahkan Ersa belum pernah merasakan jatuh cinta yang sebenarnya tapi dia bisa begitu membela mati-matian tokoh fiktif itu. Dia kebanyakan nonton drakor dan baca novel roman picisan. Sampai otaknya koslet ikut hanyut di dalamnya.

Aku sudah berulang kali menolak saat Ersa memaksaku membaca novel-novelnya. Entahlah motivasi dia apa. Hey, bahkan aku sudah tidak perlu bacaan seperti itu lagi. Aku bukan jomlo kesepian seperti Ersa. Wishnu orang yang dewasa, lebih tahu bagaimana cara memperlakukan pasangannya dengan manis tanpa harus belajar dari Novel picisan kegemaran Ersa. Tapi kemanisannya masih belum bisa membuat hatiku bergetar. Huuft.

"Lo harus baca novel ini biar kehidupan cinta lo nggak monoton," katanya. Seperti dia ahlinya saja.

Siang ini aku berada di meja bar, duduk menghadapnya yang sedang meracik kopi dengan sebuah coffe maker.

"Apanya yang monoton? Selama ini hubungan gue sama Wishnu baik-baik aja. Gue rasa cukup. Gue gak butuh novel picisan lo itu buat kehidupan cinta gue."

"Baik-baik yang gimana menurut lo? Ketemuan aja sebulan sekali itu pun kalo inget. Padahal kalian cuma beda satu kota. Lo pikir hubungan kaya gitu sehat? Apa lo nggak pernah mikir di belakang lo Wishnu itu ngapain aja?"

Aku memutar bola mata jengah. Memang apalagi yang dilakukan Wishnu? Tentu saja dia sibuk dengan pasien-pasiennya.

"Kalian itu pasangan yang sempurna banget. Jangan karena kesibukan masing-masing bikin hubungan jadi renggang." Ersa mengangkat sendok ke arahku.

"Renggang gimana? Gue tiap hari komunikasi ko sama dia. Ya ampun Ersa, lo hidup di jaman apa sih? Mending lo jual aja gadget lo kalo nggak tau fungsi benda itu buat apa."

"Terus emang lo puas cuma pacaran lewat gadget? Kalo gue sih nggak. Tatap muka, Skin ship juga penting kali. Atau jangan-jangan Wishnu udah bosen karena lo lebih sayang sama deretan angka ketimbang dia."

"Stop, gue nggak mau bahas lagi. Soal hubungan gue sama Wishnu itu urusan gue. Terima kasih banget lo udah perhatian." Aku mendorong piring makananku yang sudah kosong.

"La, sayang banget. Laki-laki seganteng Wishnu lo anggurin. Kalo dia hilang digondol perempuan lain baru tau rasa. Gue nggak bakal pinjemin bahu kalo lo nangis bombay ntar."

"Gue sama Wishnu udah jalan hampir dua tahun. Dan selama itu nggak ada tanda-tanda kalo dia main di belakang gue."

"Ya siapa tau. Teman wanita sesama dokternya pasti cantik-cantik. Daripada pacaran sama lo yang cueknya naudzubillah," Ersa mengayun-ayunkan tangan ke udara. "Mending dia gaet salah satu dari mereka kan?"

"Gue persilahkan kalo dia cari wanita lain diluar sana," tukasku mengelap tanganku dengan tissu basah yang kubawa lantas mendorong kursiku ke belakang. "Gue balik ke kantor dulu. Ada meeting dengan bos baru. Dia datang dari Surabaya langsung ke kantor. Sebagai karyawan yang baik gue harus menyambutnya kan?"

"Bos baru? Si ganteng Randy memangnya kemana?"

"Dia berhenti. Katanya sih buka usaha baru. Orang kaya mah bebas mau ngapain aja termasuk keluar dari zona nyamannya demi usaha baru yang belum tentu masa depannya."

"Yaaah... Gue nggak bisa lihat lagi bokong seksinya dong."

"Huss! Dia lelaki beristri. Jangan bayangin yang nggak-nggak." Aku meraih tasku.

"Kenapa sih lelaki ganteng dan baik-baik yang kukenal selalu udah ada yang punya. Bagian gue mana dong?"

Aku tergelak. "Kaya stok laki-laki di dunia ini habis aja. Banyak laki-laki ganteng kalo lo mau cari. Makanya jangan tutup mata lu dengan novel picisan mulu."

"Berdoa saja boss baru gue itu lelaki single, tampan dan baik hati. Jadi lo bisa kenalan dengan modus pura-pura ketemu gue di kantor," sambungku.

"Tapi gue lebih tertarik ke dokter sih."

Aku terkekeh. Ternyata Ersa belum bisa move on dari cinta pertamanya. "Mas Raka lo itu apa kabar?"

Ersa menghela. "Dia masih saja nggak pekaan."

"Lihat, lo aja belum berhasil soal gaet menggaet pasangan udah sok nasehatin gue soal hubungan romansa gue."

"Ya harusnya lo bersyukur punya hubungan asmara nggak sepahit gue."

"Udah ah, gue balik dulu. Udah telat banget nih."

Aku bergegas meninggalkan cafe. Jam istirahat sudah selesai sepuluh menit lalu. Kalau sudah ngobrol dengan Ersa kadang aku sedikit lupa waktu. Padahal dia adalah sahabat yang menyebalkan kalau sudah membahas hubungan antara laki-laki dan perempuan. Apalagi kalau yang dibahas itu aku dan Wishnu.

Benar apa yang dia katakan. Aku memang jarang bertemu Wishnu. Kami berdua sama-sama tenggelam dalam dunia kami. Aku dengan lajur dan barisku, Wishnu tentu dengan pasien-pasiennya. Tapi Ersa terlalu berlebihan. Kami tidak bertemu sebulan sekali seperti yang dia katakan. Kalau kami memang sibuk banget paling banyak dua kali dalam sebulan bisa meluangkan waktu untuk bertemu.

Tapi sueerrr deh. Meskipun tidak lama, malam minggu juga kami bertemu layaknya orang pacaran pada umumnya. Aku yakin Ersa akan mengataiku habis-habisan untuk pertemuan kilat yang selalu kami lakukan. Tapi setidaknya kami bertemukan? Dan sampai sekarang Wishnu masih sering memastikan pola makanku agar tetap teratur. Bukankah itu artinya dia masih punya perhatian? Lagian tipe laki-laki seperti Wishnu aku yakin jauh dari kata nyeleweng. Dia sangat dewasa dan bijaksana dalam berpikir. Tidak seperti aku yang masih saja grasa grusu. Sangkin dewasanya kadang aku heran dia itu pacarku atau bapakku? Mungkin umur juga memengaruhi. Aku terpaut lima tahun dari usianya. Wajar kalau akhir-akhir ini dia sering menanyakan kelanjutan hubungan kami. Jujur, aku masih enggan bicara serius soal ini. Bukannya aku tidak serius. Hanya saja, aku merasa ragu dengan perasaanku sendiri.

Dua tahun bukanlah waktu yang singkat untuk bisa menumbuhkan sebuah perasaan. Tapi lagi-lagi aku gagal. Aku belum bisa mencintai Wishnu layaknya seorang kekasih. Masih saja hanya bisa menyayanginya sebatas kakak. Apa ini terlalu aku paksakan? Lelah yang kadang datang juga sedikit menggangguku. aku hanya menunggu keajaiban datang dari komitmen yang aku terima. mungkin saja suatu saat nanti hatiku luluh oleh segala kebaikannya.

In Between 1 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang