Aku sampai di depan kafe Ersa dengan berjalan kaki dari kantor. Seperti biasa kafe terlihat sedikit ramai dari luar. Masih banyak hal yang belum aku ceritakan pada Ersa. Terkhusus perasaanku terhadap Rafael dan segala tingkah laki-laki itu belakangan yang kadang membuatku senyum-senyum sendiri.
Aku baru saja hendak mendorong pintu kafe saat sebuah tangan lain lebih dulu membuka pintu itu. Sontak aku menoleh, dan mataku sukses melebar saat kudapati Rafael tengah memandangku dengan mimik muka yang sama terkejutnya.
"Kalila?"
"Pak Rafael?"
Kami serentak bersuara. Aduh, jadi salah tingkah begini.
"Bapak sedang apa di sini?" tanyaku kemudian mengurai kecanggungan.
"Saya akan makan siang di sini. Apa kamu juga?" tanya Rafael.
Aku mengangguk. selama ini aku belum pernah lihat Rafael makan di sini. Entah kenapa pikiran anehku muncul kembali. Bisa saja kan dia mengikutiku? Astaga, aku terlalu percaya diri.
"Ya sudah, ayo kita makan sama-sama." Rafael mendorong kembali pintu kafe karena kami memang tertahan masuk.
Ini tidak boleh dibiarkan. Kalau ada Rafael, bagaimana aku bisa curhat sama Ersa? Kan yang aku curhatin itu tentang dia. Ya Tuhan, kenapa juga harus bertemu dia di kafe milik Ersa?
"Mbak Lila, Berapa hari ya Mbak nggak mampir ke sini?" Milan menyambutku seperti biasa dengan senyum sumringahnya.
"Iya Milan. Belakangan aku sibuk di kantor," jawabku tersenyum singkat.
"Mbak mau makan apa siang ini?"
"Aku—"
"Kita duduk di sana, ayo." Tiba-tiba saja Rafael menyambar pundakku. Jelas itu membuatku terkejut.
Milan yang melihat itu mengernyit. "Mbak, ke sini sama dia?" tanya Milan.
"Tadi aku—"
"Iya, Kalila ke sini bersama saya," potong Rafael sebelum aku sempat menjawab. Ini apa-apaan, ya?
"Baiklah, Mbak. Silakan duduk di sana." Milan akhirnya menyingkir. Ada tatapan ingin tahu di matanya. Namun, aku pura-pura tidak peduli.
"Apa ini kafe punya temanmu yang kamu bilang waktu itu?" tanya Rafael begitu duduk.
"Iya, Pak."
"Lalu di mana temanmu itu? Apa kamu tidak mau mengenalkannya padaku?"
Eh? Apa itu harus, ya?
Aku meringis. "Kalau jam segini biasanya dia sedang ada di kantornya di lantai dua."
"Oh, konsep kafe ini bagus." Rafael memindai ruangan kafe. "Kalau malam ada pertunjukkan musik, ya?" kali ini dia menatap ke arah stage yang berisi alat musik lengkap.
"Iya. Ersa memiliki penyanyi yang suaranya bagus."
Dari tempatku duduk, aku bisa melihat Ersa menuruni anak tangga. Dia melambaikan tangan ke arahku. Sebelumnya aku memang memberitahu kalau akan datang. Namun, munculnya Rafael di sini sedikit tidak sesuai dengan rencana. Ersa berjalan menghampiri mejaku.
"Udah lama kalian?" tanyanya begitu sampai.
"Tidak, kami baru saja sampai." Itu Rafael yang menjawab. Ersa menatapku seolah bertanya sesuatu.
"Oh iya, Pak. Ini Ersa sahabat saya. Dia pemilik kafe ini." Aku memperkenalkan Ersa pada Rafael.
Laki-laki itu bangkit dari duduknya lantas mengulurkan tangan.
"Hai, saya Rafael."
KAMU SEDANG MEMBACA
In Between 1 (END)
ChickLit°°FOLLOW AUTHORNYA DULU SEBELUM BACA YA GAES 😉 Bertemu dengan cinta masa lalu kadang terasa menyenangkan. Apalagi jika cinta itu sampai sekarang belum move on. Aku senang melihatnya kembali. Di sini dia begitu jelas terlihat. Bersamanya setiap wak...