-27-

1.6K 343 1
                                    

"Kau tidak mungkin mengambil cuti kerja hanya karena ramalan fortune cookie." Matt menyerahkan segelas air putih padaku yang setengah berbaring di sofa hijau zamrud. "Maaf, hanya ada ini."

Aku mengambil gelas itu, meletakkannya ke meja pendek samping sofa sambil bergumam itu bukan masalah besar. Lagipula, melihat apartemen kecil yang berdinding corak bata dan sebagian furnitur kayu yang menghitam, serta memiliki ruang tamu, ruang kerja dan dapur yang menyatu, mendapat segelas air putih sebagai suguhan sudah terdengar lumayan.

Karena belum memiliki tempat tinggal sendiri dan menolak menumpang di rumah Hannah—atau lebih tepatnya Dad—Matt tinggal bersama Detektif Wilson, bosnya, dengan imbalan dia akan melakukan seluruh pekerjaan rumah dan menjadi pengingat untuk membayar tagihan.

"Memang bukan," jawabku, mencoba mengabaikan bau tembakau yang sepertinya sudah mengendap ke setiap atom dalam apartemen ini. Matt jelas tidak melakukan pekerjaan sampingannya dengan baik. "Setelah mendapat ramalan yang sama persis kedua kalinya, aku jadi sadar kalau konsep fortune cookie adalah memasukkan acak beberapa kalimat yang dicetak masal lalu menunggu siapa pun untuk menarik ramalan itu hanya untuk membodohi diri."

"Ini seperti teori peluang, dan dari sepuluh ramalan yang ada, kau mendapat ramalan yang sama dalam dua kali kocokan," kata Matt sambil duduk di sebelahku. Tidak banyak perabot di sini, mengingat tidak banyak tempat kosong karena setengah ruang persegi ini didominasi oleh meja kerja berantakan serta lemari berisi tumpukan buku dan berkas-berkas yang disusun seadanya. Beberapa kertas tampak berserakan di bawah alat pembuat kopi, tepat di depan jejak hitam bekas terbakar di sudut dinding.

Sudah kubilang kan? Matt tidak berbakat mengurus rumah.

"Yeah," anggukku. "Tepat. Dan semua itu menggunakan teori ilmiah, bukan takdir."

Matt memutar tubuhnya menghadapku dan menopang sebelah siku ke atas sandaran sofa. "Jadi apa yang mengganggu pikiranmu?"

"Tidak ada," jawabku tenang.

"Yang benar? Jadi kau mengambil izin kerja, menemuiku dan mengatakan kau baru saja mendapat ramalan fortune cookie yang sama, lalu bilang tidak ada masalah?" tanyanya sambil memicingkan mata.

"Kenapa menurutmu aku harus selalu memiliki masalah?"

"Maksudku ...." Suara Matt menghilang. Dia menatap sekitar untuk menemukan alasan, tapi kemudian hanya mengangkat bahu.

Tapi Matt benar. Aku memang selalu memiliki masalah sejak menginjak kota ini. Taksi yang tertukar, didekati dua cowok yang sama sekali tidak keren, dituduh pelaku surat teror, dan naksir pada cowok yang tidak tahu cara menggoda gadis-gadis.

"Maksudku, ada rekan kerjamu yang meneror adik tirimu dan secara teknis kini kau juga diincar," tambah Matt akhirnya. "Celline bilang kau terlihat aneh."

Aku mengernyit. "Lucu karena itu keluar dari mulut Celline, mengingat kemarin aku menghiburnya habis-habisan."

Melontarkan kalimat yang menenangkan sama sekali bukan bakatku. Aku bukan remaja penuh semangat yang bermimpi besar seperti, 'aku-ingin-menjadi-dokter-karena-itu-panggilan-hidup' atau 'pokoknya-aku-harus-menjadi-desainer-terkenal'. Kau bisa melihatku berprofesi apa pun tergantung ke mana pundi-pundi menarikku, tapi aku tidak akan pernah menjadi konselor. Apalagi dengan klien seorang remaja SMA yang mudah histeris, tidak menyebut bahwa anak itu juga hobi menghakimi fisik orang.

"Dad sudah tahu selama ini," isak Celline, yang tiba-tiba saja menyosor ke kamarku dan duduk di tempat tidur dengan lutut menempel di dada. Sebenarnya dia tidak benar-benar menangis—mungkin pasokan air matanya sudah habis tidak tersisa—tapi dia membuat suara seperti rengekan dan tarikan napas yang keras.

Fortune Cookie (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang