-25-

1.7K 351 29
                                    

Aku tidak pernah berada di ruangan kantor lain selama ini, dan tidak pernah terbersit di kepalaku bahwa ruangan IT adalah tempat pertama yang akan kumasuki selain ruang administrasi—dan tentu saja, ruang HR.

Ruangan ini agak remang, hampir tanpa ventilasi, kira-kira seukuran dua kali tiga meter yang memuat dua meja kecil dengan masing-masing komputer model lama, lalu ada dua monitor lain yang menempel di dinding yang menampilkan tayangan CCTV. Beberapa lemari besi berhimpitan sana sini, ditambah beberapa rongsokan perangkat keras komputer yang menumpuk di sudut, menyebabkan tidak banyak tempat yang cukup lebar untuk dilewati dua orang. Setelah beberapa saat baru kusadari ada celah di ujung yang sepertinya menyembunyikan ruangan lain di baliknya.

"Kalian punya toilet pribadi?" tebakku pada Frank.

"Itu macam gudang. Kaya' brankas. Isinya dokumen," jawab Frank sambil mengunyah roti isinya. Dia tidak banyak bertanya sejak melihatku berkacak pinggang di depan pintu kantornya dan menegaskan bahwa aku tidak sedang mencari James. Biarpun begitu, aku bisa merasakan lirikan diam-diam Frank dari samping, seakan mencoba mencari tahu apa yang sedang kulakukan.

Kata mereka, kau harus berpikir seperti si pelaku untuk mengetahui apa tindakan selanjutnya. Berdiri di depan meja kerjanya yang rapi, aku membayangkan James, pria yang hanya memiliki tiga set pakaian di lemarinya dan selalu tersenyum padaku setiap kali berpapasan—terkadang aku tidak menoleh dan pura-pura tidak sadar. Pria yang selalu mengirimiku pesan setiap malam meskipun jarang kubalas. Pria yang mengikuti semua akun sosial mediaku, mengetahui identitasku, dan entah dapat ide dari mana sehingga yakin kalau aku menyimpan ketertarikan padanya.

Hannah tidak berbohong saat mengatakan sumber alamat IP peneror dari kantor Dad. Di sinilah tempatnya. Aku bahkan bisa melihat James dengan pantulan cahaya komputer di kacamatanya, mengetik pesan teror sambil tersenyum dingin. Dia barangkali mencetak pesan sialan itu di sini.

"Selama ini kalian bekerja di gudang?" Seharusnya nadaku terdengar prihatin, tapi gara-gara surat terkutuk James terbayang di kepalaku, tanpa sengaja sebuah dengusan cemooh lolos dari lubang hidungku.

Frank hanya mengeluarkan suara yang kedengarannya mirip zombie tertawa. Tiga detik kemudian tawanya terhenti, dan dia akhirnya mulai bertanya saat aku membongkar tumpukan kertas di meja yang seharusnya milik James.

"Kenapa?" tanya Frank penasaran.

Tentu saja, tidak mungkin James meninggalkan bukti atau buku diari yang berisi catatan lengkap rencananya di ruangan setengah gudang ini. Maka kuputar tubuh dan bersandar di ujung meja James, lalu memandang Frank. Kita tidak tahu apakah Frank adalah komplotan James, tapi ini patut dicoba.

"Sejak kapan kau mengenal James?" tanyaku, mencoba terlihat santai bagai rekan kerja ramah.

Frank menelan gigitan roti isinya yang terakhir, lalu membuang plastik ke tempat sampah tanpa memalingkan tatapan bingungnya dariku. "Sejak di sini."

"Berapa lama?" Ketika Frank hanya mengernyit, aku menambahkan, "Aku ingin mengenal James lebih dalam."

"K'lian benar-benar pacaran? Kukira James bohong."

Yeah, Frank.

"Ayolah," bujukku dengan gaya malu-malu. "Aku mau menyiapkan kejutan."

"Kami teman dua tahun. Tidak terlalu dekat." Frank mengangkat bahu.

Saat kepalaku menunduk, tanpa sengaja mataku menangkap kertas yang agak mencolok, ditimpa buku katalog dan kalender meja. Kutarik kertas itu yang ternyata adalah hasil cetakan sebuah foto.

Foto poster raksasa Celline di ruang tunggu depan resepsionis. Dan sekarang dicetak seukuran kartu yang bisa disimpan ke saku kemeja.

"Dia ... um, hanya fans," sergah Frank saat menyadari apa yang ada di tanganku sekarang. "Tak mungkin James kencan dengan gadis itu, kan?"

Fortune Cookie (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang