-7-

2.6K 529 13
                                    

"Kau bilang kau harus mengantar ibumu ke rumah sakit!" Suara nyaring Celline membahana di ruang tamu. Hanya ia satu-satunya yang berdiri, sementara aku duduk di sofa krem berlengan di antara patung romawi kuno, Justin di sofa tunggal bulat lain, dengan wajah pucat, seorang cowok berusia dua puluhan yang tak kukenal yang bersandar santai di kursi rotan, dan Hannah, ibu Celline yang tampaknya baru pulang kerja, terlihat tidak begitu peduli, sibuk mengutak-atik laptopnya di sofa putih paling besar yang melengkung di sudut.

Sekarang aku mengerti kenapa ruang tamu ini memiliki begitu banyak sofa. Setiap orang tampaknya tidak ingin duduk berdekatan satu sama lain.

"Pfft." Cowok berambut coklat terang itu tertawa, mengangkat sebelah kakinya ke atas kursi. "Masa kau tidak tahu kalau itu alasan universal setiap cowok yang mau selingkuh."

Aku tidak tahu siapa dia, tapi ada yang familier dari cowok itu.

"Matt, biarkan sepupumu selesaikan masalahnya sendiri," tegur Hannah. Juliet meletakkan nampan berisi daging panggang saus, kentang tumbuk, salad, pudding buah, dan jus jeruk di atas meja dekat wanita itu-sial, di mana punyaku?-kemudian mundur perlahan tanpa melirik Celline.

"Tapi apa yang kaulakukan?" lanjut Celline, lalu menunjukku dengan dada naik turun. Bulir air mata mulai mengalir di pipinya. "Kau tidur dengannya! Di kamarku!"

"Aku tidak tidur dengannya," bantahku. "Kau dengar sendiri kan bagaimana aku membentak pacarmu."

"Kalau begitu apa yang kalian lakukan di kamarku?" tuntut Celline. Menjauhi Justin, ia melangkah ke depanku, wajahnya merah padam. Juliet memasuki ruang tamu lagi, mengantarkan jus jeruk yang sama pada Celline. Cewek itu minum sebentar untuk menenangkan diri, lalu menyerahkan lagi pada pekerja rumah yang kemudian membawanya pergi.

Aku penasaran apa ini sudah sering terjadi sebelumnya, sehingga mereka tampak terbiasa dan mengerti apa yang harus dilakukan.

"Jelaskan, Ashley," timpal Hannah dengan suara lembut yang berbahaya. "Jelaskan apa yang telah kau perbuat dan pertanggungjawabkan ini."

Yeah, pertanggungjawabkan itu. Yeah, pertanggungjawabkan ini. Seolah putrinya tidak pernah melakukan apa-apa.

"Aku hanya ingin mengembalikan paku Celline, dan Justin masuk, lalu aku keluar. Sesederhana itu," kataku, mengedikkan bahu.

"Jangan bohong, kau jalang overdosis!"

Kata itu cukup membuatku untuk bangkit dan berdiri di depannya. Walau tinggi kami sejajar, tapi jelas tubuhku jauh lebih besar darinya. Aku dan Celline saling melempar tatapan tajam, seakan ada api tak kelihatan yang dinyalakan di antara kami. Mungkin inilah yang dirasakan oleh Harry Potter dan Voldemort di poster filmnya, serta Captain America dan Iron Man yang memutuskan berseteru, atau Edward Cullen dan Jacob Black yang memperebutkan Bella.

Bedanya, aku dan Celline tidak diramalkan akan saling membunuh (Fortune Cookie tidak menyebut soal itu), atau berdebat soal peraturan pemerintah, dan tidak ada cowok yang kami perebutkan (Justin? Amit-amit deh). Aku hanya terpancing oleh hinaan dari bibir tipisnya yang kubayangkan akan di-filler suatu saat, karena aku sudah menerima banyak orang yang mengatakan diriku gemuk, tapi tidak pernah overdosis. Sekali pun.

Tapi, jika aku menyerangnya dengan gegabah sekarang, aku akan kehilangan segalanya: pekerjaan, tempat tinggal, dan masa depan. Bukannya berlebihan, tapi Dad tidak mungkin akan menerimaku lagi di sini setelah aku menarik sejumput rambut pirang Celline.

Serba salah, seandainya aku membiarkannya menang, mereka akan benar-benar mengira kalau aku memiliki skandal dengan Justin atau semacamnya, dan reputasiku semakin buruk.

Fortune Cookie (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang