Keesokan harinya, aku sudah merasa jauh lebih baik sehingga memutuskan kembali masuk kerja, walau terpaksa mengenakan setelan longgar untuk menghindari rasa nyeri akibat tekanan di pinggangku. Satu-satunya pakaian terlonggarku adalah terusan bekas Mom, berwarna putih dengan pita di bagian lengan, dan aku tidak tahu bagaimana ceritanya sehingga pakaian itu bisa berakhir di koperku alih-alih dress lain yang lebih bermode. Parahnya, aku tidak bisa meminjam baju Celline, dan kau tahu kenapa.
Jadi, mengakali dengan memakai ikat pinggang yang sengaja kupasang tinggi-tinggi, aku mengambil blazer untuk menutupi lengan yang norak dan memakainya sambil menuruni tangga, kemudian mendapati Dad terkesiap di bawah.
"Kau terlihat persis ibumu."
Aku menatapnya bingung sambil menyentuh rambutku, kemudian menunduk untuk mengamati seluruh tubuh. Maksudku, aku memang putri Mom, tapi tidak ada bagian dari tubuhku yang mewakili bentuk Mom selain ....
"Apa aku terlihat lebih lebar?" tanyaku. Pasti karena terusan putih ini.
"Bukan," sergah Dad. "Gaun itu. Milik ibumu kan?"
"Bagaimana kau tahu?"
"Aku yang membelinya."
Tanpa sadar aku tersenyum. "Kau masih mengingatnya?"
"Tentu saja. Ibumu memaksaku membelinya dan mengancam akan melepaskan pakaiannya di mal jika aku tidak melakukannya."
"Well." Aku ikut tertawa ketika Dad terkekeh, kemudian teringat sesuatu. "Mom akan menikah."
"Oh." Dad hanya berkedip sambil menerawang ke arah pegangan tangga di tanganku sebelum mengangguk. "Itu bagus."
"Bulan depan."
"Oh," katanya lebih lebar lagi karena terperangah. "Bagus."
"Kau tidak mungkin masih mencintainya kan?" tanyaku dengan sebelah alis terangkat.
Dad tertawa lagi. "Tidak, aku hanya ... mengingat ibumu seperti membayangkan kisah cinta masa remaja. Kita terlalu muda dan tidak paham segalanya."
"Jadi siapa cinta sejatimu? Ibu Celline?"
"Aku ...."
Aku mendengus saat melihat Dad yang tergagap sambil mengusap belakang lehernya. "Terkadang orang yang saling tidak mencintai harus hidup bersama, sementara orang yang saling jatuh cinta memutuskan berpisah."
"Bukan begitu," sergah Dad. "Aku dulu mencintai ibumu."
"Yeah, aku tahu," balasku mengangkat bahu, berusaha menunjukkan bahwa aku tidak mempermasalahkannya. Setelah kami hanya saling berpandangan sambil menebak isi pikiran satu sama lain, aku melanjutkan, "Maaf karena pernah menyebutmu ayah yang payah."
Dad terperangah sesaat, kemudian sebuah senyuman lebar terbentuk di bibirnya. "Kurasa aku memang ayah yang payah."
"Memang benar," kataku menyepakati, sehingga Dad memberiku tatapan bingung, "tapi aku tidak berhak menyalahkanmu. Mungkin kau ayah yang payah, tapi itu tidak apa-apa."
"Yeah," angguk Dad, walau aku yakin dia mencerna perkataanku.
"Semua orang juga payah," tambahku.
Hal berikutnya, tahu-tahu saja Dad sudah menghampiriku dan menarikku ke dekapannya. Sambil menepuk punggungku, Dad berbisik, "Aku bangga sekali memiliki putri sepertimu."
"Karena itulah kau menyembunyikan nama belakangku di kantormu?" balasku tanpa bisa menahan diri.
Dad melepas pelukannya dengan cepat dan menatapku. "Tidak, aku sudah memperbaikinya. Sebenarnya itu saran Hannah karena rasanya tidak etis jika membiarkan putri sendiri bekerja di perusahaanku, jadi aku mencoba memasukkanmu ke jajaran bawah. Hari ini kau akan pindah ke ruang COO."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fortune Cookie (End)
ChickLit(CHICKLIT-MYSTERY-comedy) Rate: 16+ (kissing scene, bad words, adult jokes) Ada tiga hal yang harus diketahui setiap orang di dunia. Pertama, kepingin bekerja di kantoran di usia 18 bukan berarti kau bosan hidup. Kedua, Fortune Cookie tidak bisa mem...