-3-

4.1K 652 42
                                    

Itu bukan masalah besar.

Maksudku, setidaknya taksi itu tidak menyekap dan menjual organ tubuhku. Aku tetap tiba di Precious Crown dengan selamat, kecuali jika aku harus turun di depan gerbang kompleks saat menyadari argo taksi itu sudah nyaris mencapai seluruh jumlah uang yang ada di dompetku saat itu, dan si supir jelas tidak menerima bayaran kartu kredit.

Persetan dengan pria yang kututup teleponnya tadi, toh ia juga bisa memesan taksi lain.

Tidak, ini juga tidak ada hubungannya dengan Fortune Cookie. Si supir tidak membawa malapetaka bagiku—paling tidak menurutku begitu. Berjalan sendirian sambil menarik koper berat di pinggiran perumahan mewah bukan sesuatu yang sial.

Melelahkan, iya.

"Butuh tumpangan?" Sebuah Mustang perak melambat di sampingku. Pengemudi mobil itu menurunkan jendela hitamnya, memperlihatkan wajah seorang cowok remaja berambut pirang dengan potongan asimetris yang kacau ala Justin Bieber, yang menutupi sebagian mata kirinya.

"Tidak, terima kasih, tujuanku sudah dekat," balasku seadanya. Sebenarnya aku bahkan tidak tahu rumah Dad terletak di mana. Sekarang aku melewati nomor tiga puluhan, yang terus menurun, dan seharusnya nomor 19 tidak jauh dari sini.

"Bawaanmu terlihat berat sekali." Cowok itu memberi seringaian yang bisa dibilang ramah, tapi aku tahu sebagian besar kriminal memasang tampang seperti itu sebelum menjebak korbannya.

Baiklah, kenapa tiba-tiba semua orang jadi terlihat seperti kriminal?

"Ini tidak seberat yang terlihat," ucapku. Seakan memberontak, tiga bulir besar keringat sekaligus turun dari sepanjang sisi wajahku, dan mengalir hingga ke ujung dagu sebelum menetes ke aspal. Kehabisan napas, aku terengah-engah. Kurasa saat tiba di rumah Dad nanti berat tubuhku akan berkurang 10 pon.

"Aksenmu seperti dari New York. Kau baru pindah ke sini?" Ia masih belum menyerah. "Di mana alamatmu?"

Aku tidak menoleh padanya lagi, langsung mengeratkan pegangan pada tas tangan sambil mengira-ngira di saku mana kusimpan botol kecil berisi larutan merica, lalu menggigit bibir saat teringat kalau benda itu kutinggalkan di sudut lemari baju di rumahku.

"Tuan yang dermawan," kataku akhirnya, "ada satu hal utama yang paling tidak boleh dilanggar di Amerika, dan itu bernama privasi."

"Ayolah, aku hanya ingin beramah tamah pada pendatang baru." Si Justin Bieber malah tersenyum semakin lebar. Ia memperkenalkan diri. "Namaku Justin."

"Oh," dengusku nyaris tertawa, "kebetulan, aku Meghan Trainor."

Cowok yang benar-benar mengaku sebagai Justin itu tertawa. "Aku tidak bercanda, Seksi. Bukan salahku jika aku memang mirip Justin Bieber. Tapi Justin Walker benar-benar namaku."

Aku sudah sering mendengar julukan itu sebelumnya, dari supir taksi yang mengklakson di tengah jalan, geng preman yang suka menongkrong di ujung gang, sampai kakek pensiunan yang berlari pagi di taman rumahku. Tapi baru pertama kali ada cowok seumuranku yang menyebutku seksi, dan dia mengemudi Ford Mustang dua dudukan.

Bukannya hal itu menjadi lebih berarti.

Jadi, mengulum senyum tipis, aku mengucapkan dengan sopan, "Baiklah, Justin Walker."

"Siapa namamu?"

"Ashley," jawabku tanpa basa-basi, berjalan lebih dekat ke barisan pohon palem depan rumah-rumah.

"Aw, sok menjual mahal, ya," godanya.

Apa sih yang dia inginkan?

Aku memutar bola mata, berhenti di pertigaan. Deretan rumah ini berhenti di nomor 22. Tiga blok lagi. Mengikuti insting, aku berbelok ke kanan.

Fortune Cookie (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang