-8-

2.6K 484 9
                                    

Bangku kayu panjang yang diletakkan persis di bawah pohon maple adalah ide buruk, kecuali jika ini musim gugur dan kau butuh foto yang bagus. Tapi sekarang masih akhir musim panas.

Pemandangan langit malam cerah yang tertutupi dedaunan adalah satu hal. Sudah ada dua lembar daun yang jatuh tepat di atas kepalaku, dan aku menemukan serangga putih yang merayap di ujung sandaran kursi. Aku tidak bisa bersandar karena tidak mempercayai batang pohon yang menempel di belakang sandaran kursi—maksudku, kita tidak tahu jika salah satu serangga itu merayap persis di belakang dan menuju ke punggungmu—jadi yang kulakukan adalah duduk tegak dengan tidak nyaman sambil mencengkram cangkir cokelat panasku yang hampir dingin.

Memutuskan untuk tidak meminumnya lagi setelah berdebat pada diri sendiri apa tadi aku baru saja melihat satu serangga yang tercemplung ke dalam, kuletakkan cangkir itu ke atas rumput pendek-pendek. Aku berdiri, berjalan ke ujung kursi yang kuyakini belum dijamah serangga, lalu menarik bangku kayu berlengan besi itu—

Berat.

Oh, sial, aku sudah jauh-jauh turun dan tidak akan kubiarkan perjalanan ini sia-sia. Kucoba kerahkan seluruh tenaga, dan dengan lengan nyaris patah serta keringat membanjiri wajah,  bangku itu berhasil bergeser beberapa kaki menjauh dari pohon. Kelelahan, aku membaringkan diri, melupakan serangga, lalu menatap titik-titik redup di langit, tepat di atas balkon berisi seorang cowok yang tengah menatap ke arahku.

Aku mengangkat alis untuk menyapa. Entah Matt tidak menyadarinya atau masih kesal, tapi dia sama sekali tidak berniat menunjukkan tanda bahwa untuk berinteraksi denganku, kemudian langsung masuk ke dalam ruangan tanpa mengatakan apa pun.

Lalu berdiri tepat di atas kepalaku beberapa menit kemudian.

"Masih memikirkan itu?" kataku memulai percakapan. Kuharap wajahku terlihat bagus dalam posisi terbalik.

Matt memutar bola mata. "Baik, lupakan. Aku tidak akan mempermasalahkan itu lagi."

"Kau turun hanya untuk mengatakan itu?"

"Maksudmu, hal yang tidak akan kukatakan seandainya kau tidak memulai?"

Aku memutar bola mata. "Baik, lupakan. Aku tidak akan mempermasalahkan itu lagi."

"Kau meniru ucapanku?"

"Dalam kurung, Matthias, koma, dua ribu enam belas, tutup kurung," tambahku. "Apa nama belakangmu?"

Alih-alih menjawab, Matt malah bertanya, "Kenapa kau melakukan itu?"

"Oh, yeah, aku begitu cerdas dan punya standar tinggi sehingga bisa terpengaruh oleh godaan murahan Justin lalu memutuskan tidur dengannya di kamar Celline." Aku memutar bola mata.

Matt mendengus. "Aku tahu Justin tidak mungkin seleramu. Maksudku, siapa sih yang berselera padanya?"

"Celline?"

"Yeah ...."

"Tolol banget, ya?"

Setelah menolehkan kepalanya dengan was-was ke sekitar seakan takut ada yang menguping, Matt menjawab sambil mengangkat bahu, "Yeah. Aku sudah menduga kalau Justin itu bukan barang bagus."

"Dan kau masih berpikir aku selingkuh dengannya."

"Bukan itu yang kumaksud, dasar Tukang Asumsi." Matt mengeluarkan kantung plastik berisi paku dari saku celana jinsnya, lalu meletakkan di samping wajahku.

"Oh, makasih," kataku singkat. "Apa paku ini sempat jatuh dan mengenai kepalanya?"

Matt menurunkan kepalanya hingga mata kami sejajar secara terbalik. Kutatap matanya yang gelap di antara ujung rambutnya yang nyaris mengenai dahiku. Setelah mengerjap beberapa saat, Matt mengulangi pertanyaan tadi lebih lambat. "Kenapa kau melakukan itu?"

Fortune Cookie (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang