Jika aku pernah membayangkan perusahaan Dad sebagai gudang lantai dua terbengkalai yang disewa murah, aku salah besar. Mom sudah meyakinkanku kalau perusahaan Dad jauh lebih layak dari yang kukira, dan setelah melihat rumah kemarin, aku mulai memikirkan beberapa gedung tinggi dalam satu kompleks strategis. Tapi rupanya aku masih salah.
Daei luar gedung petak tiga lantai bercat abu-abu, aku membayangkan apakah Dad membangun markas mata-mata rahasia yang disamarkan dengan perusahaan percetakan dan periklanan supaya tidak terlihat mencurigakan, dan aku tidak akan tahu identitas Dad yang sebenarnya sampai masuk ke dalam nanti.
Tapi setelah mendorong pintu kaca dengan tergesa dan menginjakkan langkah pertama yang keras di lobi depan hingga beberapa orang di sofa tunggu menoleh padaku, aku tahu gedung ini ternyata tidak rahasia-rahasia banget, karena tidak ada markas tersembunyi yang memasang rak tinggi besar penuh berbagai majalah di antara sebuah poster iklan tas tangan seukuran orang asli yang dibingkai---maksudku, benar-benar dibingkai.
Mungkin perlu kutambahkan kalau model pirang yang berpose memegang tas jinjing biru muda di samping pipinya adalah Celline.
Omong-omong soal anak itu, dialah yang penyebab kemunculanku di hari pertama kerja menjadi tidak keren dengan peluh membasahi wajah dan tas nyaris terjatuh lantaran tidak kuat menahan pintu kaca yang berat. Si resepsionis yang sedang memoles lipstik merah mudanya mendongak tanpa kedip seakan aku adalah alien yang berkunjung, lalu mengerjap sambil berkata, "Maaf?"
"Namaku Ashley ... um Ashley Hilary," kataku sambil terengah. "Seharusnya ini hari pertamaku kerja."
Si resepsionis--Susanah namanya, kulihat dari pin kecil yang dipasang di blazer merah tuanya--menggumamkan sesuatu padaku untuk menunggu, kemudian menelepon seseorang. Duduk di sofa bersama dua tamu lain yang terus memandangku terdengar bukan gagasan bagus, jadi aku memilih tetap berdiri di depan meja marmer abunya.
"Yeah, Ashley Hilary, katanya anak baru," bisiknya. Dia menutup mulutnya untuk berbisik lebih pelan, jeda sebentar, lalu diam-diam melirikku. "Well, rambut merah. Um, lumayan berisi, sepertimu. Rambutnya agak berantakan. Dia praktis menerobos pintu, sampai aku curiga apa dia adalah buronan yang baru dikejar polisi dan ingin menyandera salah satu dari kami. Kenapa aku tidak tahu akan ada anak baru---"
Aku berdeham cukup keras, lalu si resepsionis memandangku. Alih-alih terlihat bersalah karena kepergok, ia malah mengernyit seakan tidak senang diinterupsi.
"Bagaimana jika aku langsung ke kantor entah siapa itu, supaya dia bisa melihatku dan menilai langsung?"
Tentu saja, aku dibawa ke kantor HRD.
Bukan untuk sambutan atau basa-basi hari pertama kerja, tapi membicarakan pelanggaran pertama di hari pertama kerjaku.
"Jadi kau Ashley Hilary, karyawan baru dari New York yang direkomendasi Mr Drowen langsung," kata Heather Irvin—aku melihat tag namanya di meja—sambil bersandar di kursi putar berodanya.
"Benar, Ma'am."
"Kudengar-dengar Mr Drowen yang mewawancaraimu langsung, begitu?" Heather melipat kakinya, memutar bola dunia mini di samping komputernya dengan pulpen. Aku mengiyakan lagi.
"Apa saja tawaran yang ia berikan padamu?" tanyanya lagi.
Dad tidak memberitahuku soal ini. Ikut bersandar di kursi—bedanya, punyaku tidak bisa digoyangkan ke kiri dan kanan seperti yang Heather lakukan sekarang—aku mencoba memikirkan kalimat yang tepat. "Maaf, Ma'am, sebagai orang baru, aku tidak yakin apakah hal semacam ini boleh diberitahukan pada orang lain. Aku menyarankan Anda agar menanyakan langsung pada ... um, Mr Drowen."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fortune Cookie (End)
ChickLit(CHICKLIT-MYSTERY-comedy) Rate: 16+ (kissing scene, bad words, adult jokes) Ada tiga hal yang harus diketahui setiap orang di dunia. Pertama, kepingin bekerja di kantoran di usia 18 bukan berarti kau bosan hidup. Kedua, Fortune Cookie tidak bisa mem...