-19-

1.8K 399 29
                                    

Saat kecil, aku pernah membayangkan bagaimana rasanya memiliki saudara. Aku selalu menginginkan adik perempuan sehingga aku bisa mendiskusikan model apa yang harus kuterapkan pada rambutku selanjutnya, atau barangkali kakak laki-laki yang dapat diandalkan saat seorang anak cowok di kelas menyebutku sapi hamil sepuluh tahun yang lalu. Setidaknya, aku punya seorang teman—yang terikat secara khusus, bukan sekedar teman biasa seperti Jose, karena aku tidak bisa mengeluh padanya saat Mom dan pacarnya kepergok berdansa di kamar dengan pakaian dalam.

Tapi aku sudah terbiasa sendirian. Saat menunjuk model rambut berponi salah satu aktris cilik di majalah, dan Mom malah memutuskan memotong pendek rambutku karena tidak bakal sempat menyisirnya setiap pagi dan mengikat dengan pita merah seperti Matilda. Saat aku akhirnya beranjak dari kursi dan berkata pada si cowok nakal sambil berkacak pinggang bahwa setidaknya aku bukan kotoran sapi sepertinya. Lalu saat aku pulang sekolah dan Mom bilang Dad akan pindah ke luar kota sehingga tidak bisa menghadiri pertemuan orangtua dan guru lagi, setiap tahun.

Lambat laun, aku menyadari kalau satu-satunya orang yang bisa kuandalkan hanyalah diriku sendiri. Aku tidak memprotes saat Mom mengenalkan Michael sebagai pacarnya yang tampak seperti bocah laki-laki yang terjebak di tubuh pria akhir tiga puluhan. Aku tidak mengeluh saat teman-teman SMP-ku satu per satu menjauh hanya karena kami jarang sekelas lagi. Aku bahkan sudah lupa untuk kecewa saat Dad hanya mengirim kartu dan sejumlah uang padaku setiap Natal.

Jadi, seharusnya bukan masalah bagiku saat menemui Dad lagi dan tahu-tahu saja aku punya adik tiri. Tidak, ini sama sekali bukan masalah. Aku bahkan akan merentangkan tanganku lebar-lebar dan menyambutnya sama seperti yang adik tiriku lakukan di hari pertama kami bertemu—hanya saja, tindakan itu ditujukan pada pacar sialannya.

Dan tentu saja, itu masalahnya. Selain kalimat pertama berikut yang ia lontarkan.

Juga selain karena sifat dramatis dan kekanakan yang membuatnya terbaring seperti putri tidur dengan gaun merah muda di ranjang besar empuk. Bedanya, putri tidur ini ditemani lagu-lagu cover dari serial film musical Glee, dan pangeran yang akan menciumnya sedang terlibat skandal pesta minuman keras di bawah umur bersama rivalnya.

"Jangan sentuh barangku." Sebuah gumaman serak terdengar saat aku menatap bingkai foto emas berisi wajah Dad dan Celline yang tersenyum di samping ranjang.

"Yeah, aku sudah menyentuhnya dengan jiwaku, bagaimana kau bisa melihatnya?" dengusku.

"Untuk apa kau kemari?" tanya Celline tanpa ekspresi.

Aku mengangkat bahu. "Siapa tahu aku ingin melihatmu untuk terakhir kalinya."

"Apa kau datang untuk membunuhku?" lirihnya.

Jika aku tidak mengenal adik tiriku, mungkin aku sudah terkejut dan megap-megap sekarang. Tapi karena aku sudah pernah melihatnya berteriak histeris padaku dengan alasan tidak masuk akal, beberapa kali, akhirnya aku hanya memutar bola mata dan menyandarkan sebelah paha dengan malas di sisi ranjang tingginya.

"Bukan, aku hanya ingin mengutukmu supaya tertidur selamanya sampai ada kodok jelek yang datang menjilat wajahmu," ujarku santai. Mengenakan blazer dan rok sepan hitam dipadu kuku runcing yang diberi warna serupa, aku memang terlihat seperti penyihir jahat di antara pernak pernik merah muda yang imut. Seharusnya aku bawa tongkat berujung runcing sekalian.

Celline menarik selimut bulu angsanya hingga ke dagu, mengernyit tidak setuju padaku bagai anak-anak yang diberitahu oleh ibunya bahwa Santa Klaus adalah psikopat. Kemajuan besar, setidaknya kali ini ia tidak berteriak seperti orang gila.

Atau barangkali ia hanya remaja mengantuk biasa yang otaknya belum bisa sepenuhnya bekerja pada pagi hari.

"Kutukan diterima. Kau bisa pergi sekarang." Setelah berkata dengan lemah, Celline memejamkan mata, mendadak terlihat dua puluh tahun lebih tua dari, well, sikapnya selama ini.

Fortune Cookie (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang