-12-

2.2K 447 18
                                    

Aku sudah mencari nama Dad di Google, tapi tidak banyak yang kutemukan selain salah satu artikel berita yang menyebut Jaxon Drowen sebagai salah satu partisipan dalam kegiatan amal untuk anak-anak yatim piatu. Dad tidak termasuk sepuluh besar pengusaha terkaya di dunia, ataupun raja di sebuah kerajaan makmur. Aku menyandarkan punggung dengan rileks, menerima kenyataan bahwa aku bukan Princess Mia dan tidak perlu menyewa bodyguard. Aku hanya putri pengusaha kaya biasa yang memiliki kamar pribadi mewah berbau Lilac segar setiap hari walaupun aku selalu makan di kamar.

Kini layar laptopku menampilkan informasi perusahaan Dad yang minim, dan saat aku mengetik nama perusahaan yang baru dibeli Dad, sebuah notifikasi chat dari Mom muncul di sudut layar.

Melirik jam, seharusnya sekarang baru pukul tujuh pagi di New York. Mom dan jam tujuh pagi di hari Sabtu bukanlah teman baik.

'Sup, Honey?'

Sedetik kemudian, Mom melakukan panggilan video call, sehingga mau tak mau aku menekan tombol 'terima' dan mendapatinya sedang berbaring di tempat tidur dengan kaus longgar bergambar pizza kesayangannya. Dari riasan wajahnya yang berantakan, aku tahu Mom tidak mandi sehabis pulang kerja semalam.

"Apa terjadi masalah di rumah?"

"Ya ampun, kenapa kau berpikir bahwa setiap kali aku menelepon berarti ada masalah?" Mom bergeser dengan malas di tempat tidur. Dari pergerakan dan posturnya yang miring, ia pasti sedang berusaha membuka tirai di samping ranjang tanpa menginjak kakinya di lantai. Kamar Mom menjadi sedikit lebih terang.

"Entahlah, Mom. Aku sudah bersiap mendengar kabar soal wajan yang retak," kataku datar. Aku teringat bahwa aku belum menghubunginya sejak di taksi kemarin, padahal ada sesuatu yang ingin kumintai penjelasan.

Mom terkekeh. "Sedang apa?" tanyanya sambil menguap. Samar-samar aku bisa mendengar suara televisi yang menyala.

"Mencari cara jitu untuk merebut harta ayah sendiri," jawabku sekedarnya. Aku memperkecil kotak video call dan menggeser di samping agar aku bisa melanjutkan pencarianku. Hannah Prietsley.

"Kau masih marah ya soal itu?" Suara Mom terdengar sedih. "Aku tidak pernah menjadikanmu umpan untuk menangkap ikan emas, Ash. Apa kau tidak mengerti? Semua ini kulakukan karena aku tidak sanggup membiayai kuliahmu di sini. Kita miskin. Ayahmu super kaya. Kau bisa menyelesaikan kuliahmu dan kembali ke sini dengan tangan kosong dan kita bersatu selamanya sebagai keluarga sederhana yang bahagia."

"Oh, yeah, karena itulah kau menolak tawaran Dad untuk membiayai kuliah di universitas impianku dan tidak memberi tahuku sama sekali."

"Tidak!" Mom menekan kedua pipinya dan menjerit sangat keras sehingga aku harus menekan tombol pemati suara sementara. Kulihat Mom berhenti berteriak dan mulai mengatakan sesuatu tanpa henti dengan panik. Diserang perasaan tidak enak, aku kembali menyalakan suara. "... karena sebenarnya bukan itu! Baiklah, kuakui aku memang mengharapkan kau mendapatkan bagianmu, tapi itu semua demimu, bukan aku! Keluarlah, Mike!"

Aku meliriknya tajam setelah suaminya yang malang menutup pintu kamar yang baru saja ia buka. "Oh, baik sekali bagimu karena sudah memikirkanku, Mom. Aku tersanjung karena kau sangat paham apa yang kuinginkan dalam hidupku sementara kau bahkan lupa aku tidak suka nanas."

"Oh, Sayang," isak Mom sambil menegakkan punggung, lalu bersandar di headboard. Aku tahu dia hanya bersikap dramatis, jadi kubiarkan sembari menelusuri hasil pencarianku di mesin pencari. "Aku ingin kau hidup lebih bahagia. Bersama ayahmu, kau bisa mewujudkan itu. Lagipula, aku yakin kau akan pergi ke Tashver jika kutawari kedua pilihan itu."

"Pertama-tama, aku bisa mewujudkan kebahagiaanku sendiri. Kedua, kau harus tahu kalau aku lebih suka memilih Tashver ketimbang Columbia University dengan peluang enam puluh empat puluh ketimbang mengambil Tashver sebagai jalan terakhir satu-satunya."

Fortune Cookie (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang