-29-

1.6K 326 22
                                    

Aku membalikkan tubuh pada seorang pria dengan rambut acak-acakan dan celana longgar yang berdiri di depan pintu tertutup. Dengan santai, dia mengambil langkah mendekat dan tersenyum tipis seakan kami bertemu di koridor kantor, bukannya kamar seorang gadis yang ia teror selama ini.

Hal pertama yang terbersit dalam pikiranku adalah bertanya bagaimana cara ia bisa masuk ke sini. Tapi setelah mengingat teror-teror yang pernah ia kirimkan, rasanya bukan sesuatu yang aneh jika James bisa menyelinap ke kamar gadis dengan mudah.

Jadi ini maksudnya menemui Celline. James tidak mengirim surat ajakan bertemu seperti yang kubayangkan. Dia bahkan tidak memberi peringatan. Tapi James akan muncul dari balik pintu, memerangkap Celline yang sendirian di sini sehingga dia tidak memiliki pilihan lain.

Ditambah, dia membawa senjata tajam.

Sebuah sensasi dingin yang tidak nyaman menjalar di sekujur punggung di balik blusku hingga ke tengkuk, dan aku tahu itu tidak ada hubungannya dengan angin yang berebutan untuk menerobos masuk dari sela-sela tirai pintu balkon.

"Kenapa kau berada di sini?" Hanya itu yang bisa kukatakan.

"Melepas rindu pada mantan pacar. Beberapa kali aku mengajak Celline bertemu tapi dia tidak mau. Jadi aku mengambil inisiatif." James mengambil satu langkah, memperkecil jarak di antara kami. Spontan, aku menarik sebelah tirai hingga lebih banyak angin yang menyapu ruangan. Tetesan kecil air hujan mulai berjatuhan dan sebagian menghantam tumitku.

"Dengan menyusup ke kamar seorang gadis. Mengerikan," kataku, berusaha agar terlihat tenang. Saat ini aku terjebak tanpa apa pun yang melindungiku selain ponsel di kantong rok, dan aku tidak bisa mengeluarkannya sekarang dengan terang-terangan. Balkon kamar Celline menghadap halaman luas di belakang rumah dan gerakan apa pun tidak akan terlihat dari bangunan di seberang yang berjarak setidaknya sepanjang lapangan bola sekolahan.

"Jangan salah, aku sudah sering melakukannya." Saat melihat pelototan mataku, James menyeringai geli sambil menambahkan, "Astaga, Ashley, memangnya jendela kamarmu belum pernah diketuk cowok-cowok di malam hari?"

"Yang jelas bukan seorang penguntit atau peneror."

"Peneror?" dengusnya. "Kau kira Celline tidak pantas mendapatkannya setelah mempermainkan perasaan orang begitu saja? Kau tidak tahu bagaimana rasanya saat seorang gadis tiba-tiba menggodamu, lalu kalian menjadi dekat dan tiba-tiba saja dia mengatakan kalau dia mencintai cowok lain."

"Itu hal yang umum terjadi. Maksudku, apa yang kau harapkan dari seorang gadis SMA? Menikahi pria berumur tiga puluh atau semacamnya?" Aku berkacak pinggang, diam diam memasukkan sebelah tangan ke saku rok dan mencari tombol ponsel. Yang perlu kulakukan adalah menjaga agar layar ponsel tetap menghadap ke dalam, menggeser sudut bawah layar dan menekan angka 9-1-1 dengan segenap keberuntungan.

James memiringkan kepalanya dan tersenyum aneh. "Kau tidak tahu seintim apa hubunganku dengan adik kesayanganmu itu."

"Aku yakin kalau Celline hanya menerima beberapa ajakan makan malammu dan kau sudah menganggap dia akan rela mati untukmu." Ponselku sudah berada dalam posisi sempurna, dan jempolku sudah menemukan tombolnya.

Ia menatapku marah. Kedua tangannya, kuperhatikan, mengepal dalam saku celana jins-nya. "Awalnya aku begitu kagum denganmu, Ashley. Aku nyaris melepaskan Celline dan memutuskan mengejarmu saja. Tapi semenarik apa pun dirimu, kau hanya remaja delapan belas tahun yang sombong."

"Karena itulah kau menjebakku?" Aku sudah menekan tombol dan menggeser layar. Sekarang tinggal menerka letak angka 9. "Kau sengaja membuat seolah akulah yang mengirim surat teror itu."

Bahu James berguncang. Sekali, dua kali, dalam jeda yang lama, kemudian mendadak dia tertawa geli seperti orang gila seakan aku baru saja melontarkan lelucon. Beberapa detik kemudian, James melirikku sambil tersenyum kalem. "Bukan aku."

Fortune Cookie (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang