-2-

5.4K 724 45
                                    

Bukannya aku kesal karena cowok SMA itu lebih memilih Jose untuk dicium ketimbang diriku. Lagi pula siapa sih yang mau saja dicium orang asing di menit pertama bertemu?

Oke, Jose adalah kasus lain. Dia hanya mabuk matahari dan tiba-tiba haus sentuhan, bahkan dari cowok yang mendengar lagu rap payah zaman sekarang dan memakai tato tempel.

Yang membuatku memutar bola mata sepanjang perjalanan kami di taksi adalah, Jose terus mengungkit betapa ia menyesal karena cowok setengah matang yang menciumnya tadi berusia tiga tahun lebih muda darinya, dan bagaimana Fortune Cookie bisa meramal nasibnya dengan tepat, kemudian menakutiku dengan ramalan yang kudapat.

"Itu hanya kebetulan," kataku berulang kali, "dan aku kasihan padamu yang dicium bocah lima belas tahun karena kalah dalam permainan Truth or Dare." Aku sengaja menyimpan kertas ramalanku di saku celana jins biru muda, bertekad akan membuktikan pada diri sendiri kalau itu hanyalah kalimat konyol yang tidak pernah terjadi.

Saat kami tiba di apartemen Jose, yang ternyata serba ada dan lebih mewah dari yang kubayangkan, cewek itu masih menjabarkan secara detail lesung pipit dan rambut pirang cowok itu yang manis, seolah aku tidak berada cukup dekat untuk melihatnya secara langsung tadi.

"Kau bahkan tidak tahu namanya, Jose," seruku pada Jose yang sedang membereskan koper di kamarnya, lalu merebahkan diri di sofa kecil empuk berwarna gading dan menatap datar layar hitam televisi 28 inchi yang tidak menyala di depan. Sebenarnya apartemen ini bisa ditinggali dua orang, dan Jose pernah mengajakku menyewa bersamanya. Namun Papa memaksa agar aku tetap tinggal di rumahnya sampai lulus kuliah nanti. Aku tidak membantah, pilihan kedua jauh lebih hemat.

"Astaga, ceroboh betul!" pekik Jose. "Itu lah kenapa aku tidak punya pacar."

Aku berjalan ke balkon yang menghadap ke kolam renang di samping apartemen, yang berbentuk seperti angka delapan. Dua orang gadis berbikini tampak sedang berjemur di pinggirnya. "Jangan bohong. Aku bisa menyebut beberapa nama cowok yang pernah mendekatimu saat SMA, tahu."

Jose terkekeh. Tanpa menutup pintu kamar, ia membuka celana jins panjang dan memakai celana pendek merah muda yang ujungnya berumbai. "Kita para wanita harus memiliki standar," ucapnya sambil keluar, meninggalkan setengah isi kopernya yang masih berserakan di atas tempat tidur.

"Kata seseorang yang baru saja dicium anak kecil."

"Anak kecil itu lima belas senti lebih tinggi dariku," timpalnya.

Malas mendebat, aku menghembuskan napas, lalu meraih tas tangan Prada imitasi abu-abuku di atas sofa. "Kurasa aku harus memesan taksi sekarang, sebelum hari semakin gelap," kataku sambil mengeluarkan ponsel, membuka situs pemesanan taksi yang kupakai di bandara tadi. Kami turun di apartemen Jose terlebih dahulu, karena letaknya lebih dekat dari bandara. Perjalanan ke rumah Dad dibutuhkan waktu sekitar sepuluh menit lagi.

"Hei, ini baru pukul empat!" protes Jose sambil berkacak pinggang.

"Aku juga perlu beres-beres kamar, ingat?" Aku menunjuk koper cokelat besar Louis Vuitton-ku yang bersender di dinding dekat pintu apartemen. Yeah, yang itu juga imitasi.

"Bagaimana jika hari ini kau menginap?" tawarnya.

"Besok aku kerja."

"Oh, astaga, persetan dengan kerja!" Jose menjatuhkan tubuhnya di sofa, berbaring dengan kedua kaki kecoklatan mulus yang menggantung di ujung. "Seharusnya malam ini kita jalan-jalan di seluruh kota, mengunjungi bar-bar bagus, berkendara dengan para pria seksi di bawah lampu-lampu neon warna-warni ...."

"Ini bukan Vegas, Jose," kataku sambil menempelkan layar ponsel ke telinga, menunggu nada dering yang muncul.

Jose menyilangkan kaki. "Tetap saja. Kau masih delapan belas, dan bekerja di kantor adalah salah satu tanda penuaan dini."

Fortune Cookie (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang