"Sial!" James mengumpat keras, terkejut dengan serangan dadakan ini. Dengan tergesa, dia melepaskan cengkramanku untuk melindungi asetnya, dan sebagai akibatnya aku mendapat sayatan panjang baru di bagian bawah lenganku.
Mengambil kesempatan itu, aku berlari ke arah pintu kamar sebelum rambutku ditarik dengan kasar dan sepasang tangan mencengkram bahuku, membantingku ke tirai pintu balkon (well, harus kusyukuri, untung bukan tempat tidur).
Aku mundur ke balkon, tidak peduli lagi pada hujan deras yang mengguyur tubuh dan menampar lengan yang terluka. James, seakan melangkah keluar dari film horror, tertatih menghampiriku sementara kilat dan guntur menyambutnya. Aku setengah berharap kalau petir akan menyambar tepat ke atas kepalanya, walaupun secara teknis posisinya lebih aman dariku.
"Kau cari mati, jalang," desisnya. Pisau lipatnya teracung tinggi, siap menyerang. Dia menargetkan lenganku yang terluka.
Aku melompat duduk ke kursi rotan hingga mundur beberapa senti—bersyukur pada bantal basah yang melindungi tulang ekorku—lalu memanfaatkan posisiku untuk menendang wajah James dengan kedua kaki dan menjerit saat ujung pisaunya menggores betisku saat ia terhuyung ke belakang. Tidak membuang waktu, aku berdiri dan mengangkat kursi sebagai tameng.
"Kau tidak ingin melakukan ini, James." Aku berteriak, mengalahkan suara hujan dan denyutan lukaku. Bagaimana bisa tokoh-tokoh pahlawan di film mengalahkan musuh dengan luka di sekujur tubuh di bawah hujan deras tanpa menangis sedikitpun? "Setelah ini kau tidak hanya akan ditangkap dengan tuduhan teror dan ancaman, tapi juga kekerasan."
Dan, amit-amit, pembunuhan.
James membetulkan kacamatanya yang miring dan meludah. "Sudah kubilang, Ashley, bukan aku seorang pelakunya."
"Jadi siapa?"
"Bagaimana jika kau melepaskan kursi itu, lalu masuk dan jangan melawanku lagi," tawar James.
Tentu saja aku tidak akan tertipu.
"Ide bagus!" cemoohku sambil melempar kursi itu sekuat tenaga ke arahnya. Benda itu berhasil mengenai bahu James sebelum ia mengangkatnya dan melempar ke luar pagar balkon. Aku tidak perlu menunggu James selesai untuk melempar kursi yang satunya lagi.
Serangan itu tampak tidak terlalu berefek padanya. James berlari ke arahku bagai kesetanan, kemudian aku menendang meja kaca bulat hingga menghantam tempurung lututnya. Puas melihat pria itu berteriak kesakitan dan nyaris tak berdaya, aku bergerak ke tempat tali itu disembunyikan dan merentangkannya di hadapan James.
"Hah," dengusnya. "Coba saja turun dari sini kalau berani."
Dia tidak tahu rencanaku. Sambil berseru layaknya pemeran utama film laga yang melawan penjahat, aku berlari menghampiri James, nyaris terpeleset sebelum akhirnya berhasil melilitkan tali itu ke tubuhnya. James yang tampak tidak siap dengan serangan agresifku terjatuh dan terbatuk saat tubuhku menghimpitnya.
Aku mungkin tidak mengenal ilmu bela diri, tapi James juga bukan petarung yang handal. Kami impas, dengan tambahan insting dan persediaan lemak yang kumiliki.
"Ahh!" Jeritku sambil berguling menjauhi James saat merasakan sayatan di pinggang.
Oh, ya, dan tambahan pisau lipat bagi James.
Sial, ini tidak adil.
Tertatih, aku bangkit sambil menekan darah yang mengucur deras dari luka baru tersebut. James menggunakan waktunya dengan baik untuk melepas ikatan tali dengan pisau, dan dalam sekejap dia sudah menarikku dan memblokir pintu.
Tidak banyak yang bisa kulakukan saat James melangkah dengan ujung pisau yang teracung padaku. Kursi-kursi itu sudah terlempar ke bawah, dan aku tidak bisa mengambil meja untuk dijadikan tameng tanpa melewatinya. Mau tidak mau aku berjalan mundur, dan rasanya aku bisa mendengar lonceng kematianku yang berkumandang di kepala saat bokongku menempel pada pagar balkon tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fortune Cookie (End)
ChickLit(CHICKLIT-MYSTERY-comedy) Rate: 16+ (kissing scene, bad words, adult jokes) Ada tiga hal yang harus diketahui setiap orang di dunia. Pertama, kepingin bekerja di kantoran di usia 18 bukan berarti kau bosan hidup. Kedua, Fortune Cookie tidak bisa mem...