"Kau tahu apa kalimat pertama yang keluar dari mulutnya? 'Kenapa kau begitu gemuk?'" kataku pada telepon yang kuhubungkan dengan headset. Aku sedang sendirian di ruang kantor berplat 'administrative' yang terdiri dari sebuah meja bulat plastik putih di ujung serta empat meja persegi metal berlapis kayu cerah yang disusun berpasangan di dinding dan saling berhadapan. Tempatku adalah di meja terbesar, agak menghadap pintu, penuh oleh monitor lebar, rak dokumen mini berbahan besi, dan alat cetak plus pemindai di pinggir. Mesin printer itu cukup menegaskan pekerjaan yang akan sering kulakukan, seperti saat ini.
Akibat kena tegur dua kali tadi, aku jadi tidak berani makan siang sebelum tugasku selesai—orang kedua adalah Maggie Howard, yang mengantarku ke ruang ini sambil marah-marah karena dia-begitu-sibuk-menjalani-serangkaian-rapat-ketimbang-mengurus-anak-bawang-yang-tak-tahu-disiplin-sepertiku, lalu berseru nyaring ke seluruh staf administrasi, "Ini Ashley Hilary, rekan baru kalian. Tunjukkan padanya bagaimana menjadi karyawan yang layak."
Setelah itu aku tidak pernah melihatnya lagi. Untunglah.
"Kita memang gemuk, Ashley," balas Mom di sana, "tapi itulah yang disukai Michael. Dia menjuluki perutku 'bantal menggemaskan'."
Aku menggeleng tidak nyaman sambil berdiri di depan mesin cetak untuk menunggu hasil scan. Berbanding terbalik dengan Maggie, rekan kerja adminsitrasi jauh lebih menyenangkan, dan salah satu cewek berdarah Asia, Vivian Lee, membuat suasana hatiku membaik dengan mengatakan kalau Maggie memang orang nomor satu yang paling dibenci di kantor ini. Heather adalah nomor dua. Jadi bisa dibilang aku cukup sial bertemu keduanya sekaligus pagi ini.
"Oke, lupakan soal bantal menggemaskan," desahku, membuka penutup scan yang sepaket dengan mesin cetak, lalu membalikkan kertas di dalamnya sebelum menaruh ke atas lempengan kaca. Masih ada dua map besar penuh dokumen yang harus ku-scan, dan ini sudah hampir setengah jam sejak istirahat makan siang.
"Kenapa kau tidak pernah bilang kalau Dad sudah menikah dan memiliki putri yang sarapan sebuah apel setiap pagi?"
Mom tertawa gugup jauh di sana. "Kukira ini akan menjadi kejutan saat kau tau kau punya saudara."
"Yeah, aku begitu terkejut, apalagi saat ban mobil yang seharusnya membawaku kerja ditusuk puluhan paku, dan akhirnya gajiku dipotong lima puluh dolar." Lambungku mulai menjerit minta diisi, dan aku mulai berpikir untuk menghentikan kegiatan scanning sejenak. Persetan dengan laporan penjualan, perutku lebih penting.
"Oh, putriku yang malang," kata Mom dramatis. "Kau pasti bisa menghadapinya, Ashley. Kau lah Drowen yang sebenarnya, satu-satunya putri yang membawa darah ayahmu, sang pewaris sah—"
"Tunggu," potongku tajam, "karena itulah kau menyuruhku ke sini? Untuk mewarisi semua kekayaan Dad?"
Suara tawa Mom terdengar lebih sumbang sekarang. "Sampai nanti, Sayang. Asal kau tahu, sekarang sedang jam kerja di New York. Bosku segera datang, buh-bye!"
"Halo, Anak Baru!" sapa Vivian yang membuka pintu, diikuti Stella dan Natasha, staf administrasi lain, serta dua laki-laki yang tidak kukenal. Ia menaruh sekotak pizza di atas meja bulat dekat dinding kaca yang menghadap halaman parkir. "Aku tahu kau belum berani makan—sebagian orang selalu begitu di hari pertama kerja—jadi kubeli pizza keju untuk kita makan di sini."
"Kau adalah penyelamat hidupku," kataku antusias, melepas blazer sebelum menghampiri meja makan yang sudah dipenuhi lima orang. Mereka beramai-ramai berdiri dan menawarkanku tempat, tapi segera kutolak sambil menarik salah satu kursi beroda, lalu duduk di antara Vivian dan seorang laki-laki berambut ikal kemerahan yang memakai kacamata hitam persegi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fortune Cookie (End)
ChickLit(CHICKLIT-MYSTERY-comedy) Rate: 16+ (kissing scene, bad words, adult jokes) Ada tiga hal yang harus diketahui setiap orang di dunia. Pertama, kepingin bekerja di kantoran di usia 18 bukan berarti kau bosan hidup. Kedua, Fortune Cookie tidak bisa mem...