Reaksi pertama Nikki bukanlah seperti yang kuduga.
"Celline Drowen punya saudara?" pekiknya tidak percaya dengan suara melengking tinggi, seakan memiliki saudara adalah sesuatu yang lebih illegal dari menyediakan bir di pesta anak SMA. Beberapa pasang mata di sekitar kami ikut menoleh, barangkali terkejut oleh teriakan Nikki.
"Saudara perempuan Celline?" ulang seorang cewek yang memakai tank top biru muda dan hotpants kulit hitam. Ia mendekat selangkah ke arahku dengan tertarik.
Aku mengangkat bahu. "Yeah, coba tebak, Celline juga punya seorang ayah. Bukankah itu gila?"
"Bung, kau mengundang saudara Celline di pesta Black Petals? Idiot." Seorang cowok berambut seperti landak hijau berkata pada Justin. Gelas di tangannya hampir tumpah saat bahunya berguncang oleh tawa.
"Pulang sana, Kevin, kau mabuk," usir Justin, terang-terangan terlihat kesal untuk pertama kalinya. Dengan bujukan dan rayuan yang akan membuat Celline terkena asma jika melihatnya, Justin menarik lengan Nikki menjauh dariku. Ia melirikku sejenak saat hendak menyentuh pinggang sang model sebelum akhirnya mendorong punggung cewek itu sampai keduanya menghilang di ujung tangga.
Seseorang bernama Kevin yang mabuk menanyakan namaku dan berdiri terlalu dekat sampai aku harus mendorongnya jauh sebelum ia sempat mengendus leherku. Ia mengumpat dan mengacungkan jari tengah sebelum berjalan ke halaman. Aku membalasnya, dua kali lipat.
"Yeah, kau benar, rambutnya benar-benar parah. Si Justin itu," komentar Jose yang sekarang tiba-tiba sudah berada di sampingku dengan gelas plastik merah di tangannya.
"Kukira kau sudah tersesat ke dalam salah satu kamar bersama cowok SMA itu," komentarku.
"Teganya kau berprasangka padaku. Aku menjadi wartawan untukmu, tahu," decak Jose. Dia menghentikan cewek pembawa nampan gelas minuman yang tadi dan mengambil satu gelas lagi, lalu menyodorkannya padaku.
"Sebenarnya aku tidak minum ...."
"Kau tidak minum?" Jose membelalakkan mata, yang membuatku menyesal. "Tunggu, jangan bilang kalau kau juga gadis gereja yang masih perawan."
"Tidak ada gadis gereja," kataku, merebut gelas bir dari Jose dengan ketus. Mau tidak mau wajah Matt yang sedari tadi samar terbentuk semakin jelas di benakku. Apa yang akan dia lakukan jika dia benar-benar sini? Barangkali berdiri canggung, menggeleng prihatin pada sepasang remaja di dekat gudang bawah tangga yang melakukan aktivitasnya tanpa tahu malu. Taruhan, Matt tidak pernah minum.
"Astaga, pantas saja aku jarang melihatmu di pesta dulu."
"Pesta anak SMA bukan tipeku," decihku, teringat dengan pesta pertama yang kuhadiri karena hampir semua orang diundang. Aku mengambil gelas soda saat itu, juga salah satu senior berkulit gelap yang tiba-tiba muncul di belakang dan menggodaku. Mungkin karena jaket kulitnya yang keren atau fakta bahwa dia bergabung dalam klub drama yang populer, akhirnya kami berakhir di garasi dengan tubuh menempel satu sama lain.
Itu adalah pesta terakhirku sejak cowok sialan itu mengaku sama sekali tidak mengingatku keesokan harinya.
"Kecuali pesta Justin, yang rupanya adalah tipemu," ledek Jose. "Omong-omong, aku melihat kalian, lho. Tampang Justin seolah dia ingin melahapmu habis-habisan."
"Jangan bercanda." Aku meletakkan gelas bir di meja di belakangku, lalu menyandarkan bokong sambil menerawang jauh ke pintu, menahan dorongan kuat untuk meneguk minuman keras keemasan tersebut. Jika ada satu masa di mana aku ingin mencoba bir untuk pertama kalinya, rumah Justin bukan tempat yang tepat. Lagi pula, tanpa minum bir, aku merasa sudah mabuk karena membayangkan wajah Matt muncul di tengah taman lalu hilang tiba-tiba. "Satu-satunya cewek yang menjadikan Justin sebagai tipenya hanya Nikki."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fortune Cookie (End)
ChickLit(CHICKLIT-MYSTERY-comedy) Rate: 16+ (kissing scene, bad words, adult jokes) Ada tiga hal yang harus diketahui setiap orang di dunia. Pertama, kepingin bekerja di kantoran di usia 18 bukan berarti kau bosan hidup. Kedua, Fortune Cookie tidak bisa mem...