Bisa dibilang, hari keduaku berjalan cukup mulus.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, kali ini aku bangun mendahului matahari. Setelah aku mandi dan hendak memilih pakaian, langit di luar sana masih berupa bentangan biru gelap yang dihiasi garis-garis oranye keemasan. Jam baru menunjukkan pukul tujuh kurang saat aku turun lalu meminta tolong Manuel yang sedang mendorong bangku taman untuk mengantarku.
Manuel menghentikan kegiatannya sejenak, kemudian menegakkan punggung dan mengeluarkan arloji dari saku celananya. Kedua alis lurus tebalnya terangkat saat membaca penanda waktu tersebut. "Sepagi ini?"
"Sepagi ini," kataku yakin. "Aku akan sarapan di luar. Ada rekomendasi?"
Aku bersyukur karena Manuel tidak membantah atau menanyakan apa pun lagi. Dalam kurang dari sepuluh menit, dia sudah meletakkan bangku ke posisi semula, mengenakan rompi berpergiannya dan memanaskan mesin mobil. Setengah jam kemudian aku sudah menikmati wafel dan teh hangat dengan tenang di salah satu kedai klasik yang nyaman. Mejaku terletak di paling pinggir, menghadap jendela besar yang ditembus sinar matahari dan aku bisa melihat Manuel membaca buku di Audi perak yang terparkir di luar sana. Segalanya terasa damai-tidak ada Celline atau Hannah, tidak ada Justin, tidak ada Matthias si orang aneh, dan keluhan Josephine tentang betapa bosannya dia.
"Ashley, kaukah itu?"
Mendongak, aku menatap pria berkacamata yang dengan cangkir kopi dan piring berisi bagel di tangannya. Butuh dua detik panjang bagiku untuk mengingat bahwa dia adalah James si cowok IT.
"Hei, James," sapaku.
James meletakkan sarapannya di meja, lalu menarik kursi di hadapanku. Berusaha keras untuk tidak menunjukkan ekspresi protes-karena James tidak hanya menghalangi pemandangan, tapi dia tidak meminta izin-aku tersenyum kaku sambil menarik cangkir tehku mendekat. Bagaimana pun, aku adalah si anak baru, dan membuat masalah baru dengan rekan kerja lain bukan ide bagus.
"Kau sering makan di sini?" tanyanya.
"Sebenarnya ini pertama kalinya."
"Aku juga," katanya sambil terkekeh. Aku ikut tertawa sopan. "Sungguh sebuah kebetulan."
"Bagaimana hari pertamamu kemarin?" tanya James.
Setelah menelan potongan waffle terakhir, aku menyesap sedikit teh dan mengusap bibir dengan serbet. Jika kau makan di kedai Inggris, sekalianlah bersikap seperti lady. "Cukup baik," jawabku. "Well, tidak semua orang ditraktir pizza di hari pertama kerja, bukan?"
"Aku akan mentraktirmu pizza setiap hari jika itu membuatmu merasa lebih baik," kekeh James, dan aku tidak tahu dia bercanda atau tidak karena nadanya terdengar serius. Lalu dia merendahkan suaranya untuk berbisik. "Kurasa kau baru lulus, dan lingkungan Jaxon Group akan menyiksamu."
"Tidak, James, itu berlebihan," gelengku. "Soal pizza. Lagipula aku tidak melihat Jaxon Group akan sekelam itu. Maksudku, bisa separah apa sih?"
Aku harus menahan diri untuk menyebut bahwa Dad tidak akan membiarkanku disiksa mati-matian, entah oleh Maggie yang tidak ingin kutemui lagi atau Heather yang sudah menetapkanku sebagai musuh. Tapi itu akan membongkar semuanya.
James memutar bola mata. "Apa kau lupa dengan 'Si Pembawa Malapetaka'?" Dia membuat tanda kutip di udara dengan jarinya.
"Itu istilah yang ekstrim," komentarku, kembali teringat dengan Fortune Cookie. Malapetakaku memang sudah dimulai, tapi tampaknya semua orang di sekitarku berkontribusi untuk itu. Aku mengurutkan orang-orang itu di dalam kepala. Justin mendapat peringkat pertama, disusul Celline-karena jika reaksinya lebih normal, semuanya tidak akan serumit ini-lalu Matt, karena entah bagaimana kami berakhir di rumah sakit dan aku harus menunggu kepalanya dijahit kecil sampai hampir pukul dua belas malam.
Baiklah, yang terakhir ini lebih tepatnya aku si pembawa malapetaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fortune Cookie (End)
ChickLit(CHICKLIT-MYSTERY-comedy) Rate: 16+ (kissing scene, bad words, adult jokes) Ada tiga hal yang harus diketahui setiap orang di dunia. Pertama, kepingin bekerja di kantoran di usia 18 bukan berarti kau bosan hidup. Kedua, Fortune Cookie tidak bisa mem...