-18-

1.9K 366 13
                                    

"Heeeei," sapa Jose dengan nada panjang saat aku meneleponnya.

"Apa kau masih teler? Ini sudah mau pukul sebelas pagi." Aku membetulkan posisi headsetku sambil mengetik email balasan untuk pelanggan yang menuduh bahwa kami menetapkan harga mesin cetak jauh di atas pasaran.

"Aku sedang puas. Karena Harry. Kau pasti ingin mendengar ini," katanya disertai bunyi air yang dituang. Aku bisa membayangkan Jose berdiri di dapur cerahnya, menuang segelas jus sehat setelah olahraga rutinnya tanpa harus pusing oleh permintaan dokumen aneh dari divisi lain dan komplain-komplain pelanggan.

"Ew," kataku sambil mengernyit jijik walau Jose tidak bisa melihatnya. Mau tidak mau aku mendesah dalam hati, karena dibanding Jose, yang kualami semalam lebih terasa seperti kencan anak SMA.

Tapi, bagaimana pun, aku harus berterima kasih pada James, karena akhirnya ada kemajuan yang terjadi pada Matt saat dia mengantarku pulang.

Setelah Matt mematikan mesin mobil yang diparkir di garasi, dia melepas sabuk pengaman, lalu menoleh padaku tanpa menunjukkan tanda-tanda ingin beranjak. Aku melakukan hal yang sama, menanti hal apa pun yang hendak ia katakan—atau lakukan.

Atau lakukan, kuulangi dengan penuh harap.

"Jadi, um, siapa si James itu?" tanyanya canggung. Garasi ini memiliki sebuah bola lampu kuning yang menyala otomatis saat gerbang dibuka malam hari, tapi tidak begitu kuat sehingga wajah Matt yang membelakangi sumber cahaya tidak terlihat begitu jelas.

Jadi, kau mengerti kan? Dalam suasana seperti ini, seharusnya kami melakukan sesuatu.

"Hanya seseorang dari kantor," ucapku sambil mengangkat bahu, menyiratkan bahwa dia tidak begitu penting. Kupicingkan mataku dengan penuh arti padanya. "Kenapa kau ingin tahu?"

"Maksudku ... kau bisa melapor pada ayahmu jika ada seseorang yang membuatmu tidak nyaman."

"Aku bisa mengatasinya sendiri."

"Ya, kau tidak bisa mencium siapa saja di dekatmu jika dia menghampirimu."

"Menurutmu aku akan mencium siapa saja?"

"Well." Matt bergerak tidak nyaman di kursinya. Dia melirikku sekilas, kemudian mengalihkan tatapannya pada rak perkakas di depan, lalu matanya berpindah pada sandaran kepala di kursiku. "Jadi kenapa kau menciumku?"

"Dua kali," tambahnya.

"Kenapa aku menciummu?" ulangku dengan nada tinggi, tidak percaya karena Matt tidak memahaminya. "Mungkin karena aku menyukaimu? Di mana instingmu?"

"Kayak, secara serius?" tanyanya polos.

"Maksudmu aku akan menghampiri setiap cowok pirang yang otot lengannya bagus dan berkata, 'Hei, aku naksir padamu, ayo tidur bareng'?" Dengan geram, aku menyibakkan seluruh rambutku ke belakang karena kepanasan. "Yeah. Jika pria itu punya mata biru yang indah dan plester di dahi, lalu namanya Matthias dan berpikiran kolot."

"Aku ...."

"Kau juga menyukaiku, aku tahu."

Matt mengernyit tidak setuju, berjuang menahan seringai di wajahnya. "Oh, bagaimana mana kau bisa tahu, Tukang Asumsi?"

"Sudah kubilang, aku bisa menghasilkan deduksi lebih baik dari kepala plestermu." Baru saja aku hendak menekan luka di dahinya, tapi Matt berhasil menahan pergelangan tanganku.

"Kau," kata Matt dengan suaranya yang tiba-tiba semakin berat, "adalah jenis gadis paling berbahaya yang pernah kutemui."

"Itu karena kau tidak bertemu banyak gadis di kehidupanmu," cemoohku.

Fortune Cookie (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang