"Kami hanya berciuman."
"Tentu saja ceritanya tidak sesingkat itu." Jose mengedipkan sebelah matanya saat memberiku segelas yogurt dengan potongan buah stroberi, lalu bergabung ke tempat tidur dengan semangat. Kami harus duduk berhati-hati tanpa bersandar ke apa pun karena takut mengotori tempat tidurnya dengan cat rambut yang masih basah. Sebenarnya aku tidak berniat mengecat rambut, tapi Jose memaksaku menemaninya untuk tampil mencolok, jadi kupilih warna merah darah untuk ujung rambutku sementara dia sendiri mengubah seluruh rambutnya menjadi warna biru laut.
Dengan pelan, aku menyuap yogurt yang ternyata sangat asam jika tidak diberi gula. "Saat aku bertanya kepadanya, dia menjawab, 'Kau tahu, um, aku belum ....' Lalu kupotong kalimatnya dengan kecupan."
Awalnya Matt masih bingung, tapi kurasakan jemarinya menyentuh daguku, dan perlahan dia menyeimbangkan gerakan bibirku. Aku tidak ingat berapa lama kejadiannya. Mungkin beberapa detik, tapi rasanya juga seperti berjam-jam. Saat kami melepaskan bibir masing-masing, Matt masih menatapku dengan ekspresi sama. Seluruh wajahnya, kusadari dengan perasaan geli luar biasa, semerah tomat dan napasnya agak memburu. Dia tidak mengatakannya, tapi aku seratus persen yakin bahwa dia terkesan.
Persis seperti anak SMP di kencan pertamanya.
"Tunggu." Jose meletakkan yogurtnya dan mengangkat kedua tangan, tampak bingung. "Maksudnya kau yang menerjang."
"Kata menerjang mungkin berlebihan," kataku sambil mengernyit akibat sensor rasa asam lidahku yang bekerja.
"Ashley!" seru Jose, membelalakkan matanya tidak percaya. "Ya Tuhan. Kau mencium cowok."
"Kau juga," aku mengingatkan.
"Aku dicium cowok," ralat Jose.
"Yeah, karena anak itu bukan cowok yang nyaris masuk seminari."
"Tunggu." Jose mengangkat kedua tangannya lagi. "Jadi kau menyukai cowok gereja. Oh, sial, aku membayangkan pria kurus berkacamata bingkai emas dengan kemeja longgar dan celana bahan yang menenteng Alkitab ke mana-mana."
"Tidak separah itu tahu," belaku. "Dia keren dan imut."
"Mengingat bahwa kau tidak tertarik pada Justin Bieber membuatku meragukan seleramu," kekehnya.
"Aku baik-baik saja dengan Justin Bieber sampai penirunya yang payah mengganggu kehidupanku. Kau tahu, akhirnya aku menemukan si pembawa malapetaka. Dia orangnya."
"Astaga, ada lagi? Kukira selama ini adik tirimu yang selalu menyusahkanmu." Jose mengangkat sebelah alisnya. Aku sempat bercerita sekilas pada Jose, tapi dia belum tahu soal Justin.
"Oh, ternyata tuan putri Celline punya pacar jenis cowok yang hobi menempelkan lidahnya pada cewek-cewek lain. Namanya Justin."
"Jadi Justin menempelkan lidahnya padamu dan kalian terlibat skandal, lalu kau diusir dari rumah." Jose menyimpulkan dengan santai.
"Amit-amit." Aku mengernyit jijik sambil menenggak jus. "Justin menggodaku, tapi aku berhasil mengatasinya. Yang jadi masalah, Celline menuduhku ingin merebutnya. Lebih parah lagi, dia menuduhku telah menerornya dengan surat kaleng."
"Aku semakin tidak suka dengan Celline," decaknya.
"Aku ingin bilang begitu, tapi bagaimana pun dia adikku," kataku, mengangkat bahu.
"Bukan adik benaran. Kalian baru bertemu, dan dia bukan siapa-siapa."
"Ternyata Celline putri kandung ayahku. Boom." timpalku muram.
Mata Jose melebar oleh keterkejutan. "Jadi ayahmu ...."
"Ayahku tidak tahu." Sambil mengangkat bahu, aku meletakkan gelas kosong di nakas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fortune Cookie (End)
ChickLit(CHICKLIT-MYSTERY-comedy) Rate: 16+ (kissing scene, bad words, adult jokes) Ada tiga hal yang harus diketahui setiap orang di dunia. Pertama, kepingin bekerja di kantoran di usia 18 bukan berarti kau bosan hidup. Kedua, Fortune Cookie tidak bisa mem...