-4-

3.8K 598 45
                                    

Ada tiga hal yang harus diketahui setiap orang di dunia.

Pertama, kepingin bekerja di kantoran pada usia 18 sambil kuliah bukan berarti kau bosan hidup. Sebagian cewek sepertiku yang berpandangan ke depan menganggap hal itu adalah langkah awal untuk lebih mulus menaiki tangga jabatan tinggi di perusahaan, plus penghasilan yang kudapat nanti akan jauh lebih besar ketimbang bekerja paruh waktu sebagai pelayan kafe. Lagipula, aku suka pakaian kantor.

Kedua, nasibmu tidak akan bisa dibaca oleh sebuah barisan kalimat yang dijepit dalam kue renyah manis. Aku suka Fortune Cookie—jangan salah. Semua makanan berhak untuk dicintai, tapi kau tidak bisa menggantungkan hidupmu pada pesan yang dibawa oleh kue.

Ketiga, ukuran 8 sepertiku jauh, jauh dari kata gemuk. Seksi, iya. Gemuk, nah. Para cewek-cewek ukuran nol harus mempelajari bentuk tubuh ideal yang sebenarnya, karena aku yakin jika seseorang menusukkan jarinya ke dada Celline, ia akan langsung menyentuh jantung, atau barangkali tembus ke belakang.

Jadi, berusaha membela jaringan lemak sehat yang membungkus tubuhku, sore tadi aku langsung membalas pada Celline dengan gelengan lambat, "Kau harus memperbaiki pembendaharaan katamu, Miss Drowen Kecil. Istilah untuk bentuk tubuh yang membuat pacarmu meneteskan liur sepanjang perjalanannya tadi jelas bukan gemuk. Aku akan memberitahumu kata yang diucapkan Justin jika kau penasaran. Dia memanggilku 'Seksi'." Lalu, sebelum berjalan ke tangga, aku mengedip pada Justin yang terang-terangan memucat di sana.

Sampai sekarang aku belum keluar dari kamar seluas enam kali delapan meter—dua kali lipat lebih besar dari kamar tidur lamaku—dengan toilet dalam ruangan dan balkon luas yang terhubung ke ruangan-ruangan di kiri kanan, jadi aku tidak tahu bagaimana keadaan di luar sana. Entah Celline dan Justin putus di tempat atau Dad menggantung Justin dengan tali-tali lampu raksasa ruang tamu, biarlah.

Pertama kali memasuki kamar ini, aku sudah terpana oleh tirai biru muda di sekeliling tempat tidur berukuran queen yang dapat diikat ke atas dengan menarik seutas tali di samping. Ada sebuah lemari putih besar beserta rak-rak terbuka di sampingnya, tempat kau bisa menaruh koleksi tas, sepatu, topi, dan pernak-pernik lainnya. Tiang gantungan dalam lemari itu bisa ditarik keluar, sehingga rasanya seperti memilih pakaian dari butik.

Melihat semua lemari itu yang hanya terisi seperempatnya membuatku sadar kalau aku jauh lebih miskin dari yang kukira.

Suara ketukan di pintu membuatku bangkit dari ranjang putih empuk dan memutar kenop yang dilapisi permata tiruan. "Kau adalah ...." Aku menatap dengan sebelah alis terangkat pada gadis muda berkulit eksotis berpakaian putih hitam seperti Manuel, hanya saja ia melapisi kemeja putihnya dengan rompi hitam berkancing besar.

"Halo, aku Juliet Moore! Seperti Juliet dalam Romeo dan Juliet," sapanya sambil berseru. Dia membawa masuk sebuah nampan yang terdiri dari handuk merah muda lembut, sabun, shampoo, kondisioner, dan beberapa botol dan wadah kecil yang belum sempat kutebak fungsinya. Setelah menaruh di atas meja kaca kecil, Juliet menoleh padaku. "Apakah Anda keberatan jika aku tidak terlalu formal, karena aku senang sekali mendengar kabar bahwa kita seumuran!"

"Tentu saja tidak," balasku. "Aku sungguh berterima kasih karena kau bersikap normal. Tunggu, tadi kau bilang kita seumuran. Jadi kau masih delapan belas?"

Juliet mengangguk sambil tersenyum.

"Dan bekerja di sini?"

Dengan semangat yang sama, dia mengangguk lagi. "Ini tahun keduaku di sini."

"Kau sudah bekerja sejak SMA," kataku terpana.

"Tidak. Aku bekerja setelah punya bayi di usia enam belas dan memutuskan berhenti sekolah," katanya santai seolah itu adalah hal biasa.

Fortune Cookie (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang