-21-

1.9K 369 16
                                    

Sejak saat itu, Matt tidak menghubungiku sama sekali. Aku benci mengakuinya, tapi gara-gara itu aku jadi mengecek ponsel setiap sepuluh menit sekali, lalu berdecak dan mengutuk nama Matthias—sialan, apa sih nama belakangnya?—ketika tidak ada pesan apa pun yang masuk.

Suasana hatiku semakin buruk saat James tiba-tiba menghampiriku di dapur kantor sore tadi. Bukan karena jarak di gigi depannya terlihat jelas saat James berdiri terlalu dekat denganku. Atau karena mesin pembuat kopinya sedang rusak—lagi—sehingga aku harus puas dengan kopi instan murahan rasa karamel sambil menunggu air mendidih.

"Aku memaafkanmu," katanya.

Mungkin karena aku terlalu ngantuk akibat kekenyangan oleh donat yang mendadak dibawa Jason, si staf pemasaran, ke ruangan tadi siang. Dia meletakkannya di meja Vivian sambil berdeham dan berkata, "Ini untuk semuanya. Sama rata. Tidak ada perlakuan khusus."

Mengingat bagaimana Vivian nyaris menyembunyikan wajah dan berguling ke kolong meja tadi, diam-diam kami sepakat kalau Jason bukan sekedar menjadi rekan kerja dermawan. Tapi siapa peduli, donat gratis tetap donat gratis.

"Kau apa?" Aku mengerjap pada James, bergerak mundur selangkah sambil berharap indikator lampu pada dispenser berubah hijau. James sekepala lebih tinggi, dan aku tidak mau mendongak terlalu lama ke arahnya sambil membayangkan dosa apa yang telah kulakukan sepagian ini selain meninggalkan jejak noda krim donat biru di bahu Stella tanpa memberitahunya—well, warna krim dan bajunya sama, tidak akan ada yang sadar.

"Aku memaafkanmu," katanya lagi, lebih lembut.

Atau, mungkin James sedang mengira bahwa dirinya adalah Yesus Kristus dan siap mengampuni dosa-dosaku meski nyaris tidak pernah berdoa.

"Tidak perlu berpura-pura, Ash," sambungnya dengan senyum percaya diri. "Aku memerhatikanmu yang cemberut seharian ini setelah aku memutuskan tidak menyapamu tadi pagi. Sudahlah, aku tidak akan mempermasalahkan itu lagi ... dengan satu syarat."

Ternyata lebih parah dari itu. Tolong deh.

Aku masih mengerjap sebelum akhirnya berkata, "James, aku bahkan tidak ingat berpapasan denganmu tadi pagi."

"Ya, kau pura-pura tidak melihatnya." James mengotot.

"Baik," desahku, tidak mengerti apa persisnya alasan aku harus merasa bersalah padanya, tapi juga tidak berminat mencari tahu. "Apa yang kau inginkan?"

"Makan malam denganku."

"Tidak."

Nyala lampu hijau di mesin dispenser membuatku menjerit girang dalam hati. Melewati James, aku menekan tombol sehingga air panas mulai memenuhi cangkirku.

"Apalagi kali ini? Janji dengan teman? Malam para gadis? Berpesta? Apa kau berpesta setiap malam?"

"Yeah."

"Kau bohong." James berusaha mencegatku saat aku ingin melangkah keluar. Seakan tubuhnya jauh lebih lebar dariku dan aku tidak menggenggam cangkir berisi air mendidih.

Sudah cukup. Ini saatnya kuberikan sesuatu yang harus kulemparkan padanya sejak dulu. Bukan cangkir kopi ini.

"Enyahlah, James."

Baru saja aku berhasil melewati pria yang terpaku di tempatnya itu, ponselku tiba-tiba berdering. Sambil menaiki tangga, kuangkat telepon itu.

"Enyahlah, Matthias."

Matthias tidak menelepon lagi setelah itu. Bahkan mengirim pesan untuk sekedar menjelaskan pun tidak. Kuhabiskan sisa hariku dengan merutuki pelanggan yang salah memberi alamat surel, berdecak keras saat Heather menelepon untuk urusan tidak penting seperti rok sepan ketat dan stiletto adalah ikonnya dan aku tidak boleh menirunya, lalu nyaris saja membentak Susie karena dia tidak menyampaikan telepon yang masuk untukku. Vivian, yang menyadari perubahan suasana hatiku, mengernyit dan bertanya, "Apa kau sedang PMS?"

Fortune Cookie (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang