Bagus.
Bagus sekali.
Seharusnya itu yang kuucapkan pada Matt. Akhirnya dia menemukan apa yang benar-benar ia inginkan—berkat doronganku, tentunya—dan mengambil tindakan berani untuk mengejarnya. Sama beraninya seperti ketika dia kabur dari kedua orangtua kuno yang memaksanya menjadi Pastor.
Tapi aku tidak bisa membohongi diri sendiri. Dan Matt pasti paham saat melihatku pergi dari apartemennya—maksudku, punya bosnya—dengan wajah dingin. Tanpa seruan semangat, tepukan tangan, bahkan senyuman.
"Oh. Selamat. Bye."
Dan saat ini, setelah aku duduk di kursi penumpang taksi, aku mereka ulang kejadian tadi di kepalaku dan menyesali segala tindakanku yang memalukan. Aku tidak berhak untuk marah. Tentu saja Matt lebih memilih pendidikan pentingnya ketimbang gadis seksi yang baru ia temui kurang dalam satu bulan namun membuatnya jatuh cinta dan bergetar—ayolah, dia pasti merasakannya. Aku juga pernah hampir berpikir untuk pindah ke Malibu bersama Jose, dan alasan aku tetap di sini jelas bukan karena cowok gereja aneh yang tidak tahu cara menghadapi wanita.
Aku mengambil ponsel, mencari daftar kontak dan menemukan nama Matthias, yang kusadari belum kutambahkan nama belakangnya. Sial, aku bahkan tidak tahu setengah identitasnya. Kutekan nomornya, lalu bersiap untuk menelepon sebelum akhirnya mengurungkan niat.
Tidak, ini terlalu cepat. Lagipula Matt tidak menahanku tadi. Langsung meneleponnya akan membuatku terdengar seperti remaja labil yang putus asa.
Nada dering ponsel mengejutkanku. Mengira itu dari Matt, aku kembali mengeluarkan ponsel dan mendesah kecewa saat foto Mom yang tersenyum muncul di layar.
"Ashley, darurat," kata Mom. "Aku tahu sekarang kau sudah pulang kerja, jadi kau harus menolongku."
Aku mengernyit pada Mom, bukan hanya karena ia tampak kacau dengan memakai kamisol berenda tipis, tapi di belakangnya terdapat deretan rak besar berisi gaun putih. "Apa yang sedang kau lakukan?"
Menjawab pertanyaanku, Mom mengarahkan kamera ponselnya ke gaun-gaun putih berat yang digantung dan menariknya satu per satu. "Lihat, aku ingin meminta pendapatmu soal gaun-gaun ini."
"Kau sedang mencoba gaun pernikahan? Apa itu tidak sedikit terlalu cepat?"
Mom terkekeh, menampilkan wajahnya dalam layar. "Ashley, aku akan menikah bulan depan!"
"Itu terlalu cepat!"
"Apa? Kau ingin aku menikah di usia lima puluh?" Mom menarik salah satu gaun tanpa lengan yang paling putih, penuh renda dan manik-manik lalu menjauhkan ponsel agar aku bisa melihatnya lebih jelas. Tumpukan gaun-gaun di atas karpet menunjukkan bahwa ia sudah mencoba beberapa dan tidak ada satu pun yang membuatnya puas.
"Setidaknya kau butuh persiapan panjang untuk sebuah pernikahan. Dan gaun itu terlihat terlalu murahan. Cobalah yang lebih polos."
"Aku bukan anak muda labil, Ashley," bantahnya, seakan ia belum pernah berdebat dengan Michael tentang apakah mereka harus memesan pizza dengan dua kali lipat ekstra keju atau tidak. "Tahu tidak, persiapan pernikahanku dan ayahmu hanya butuh waktu kurang dari dua bulan."
Aku tergoda untuk membalas karena itulah pernikahan mereka tidak bertahan lama. Tapi itu tidak ada hubungannya dan aku memutuskan bahwa suasana Mom sedang terlalu bagus untuk dirusak.
"Di mana Mike?"
"Oh, dia di luar. Kurasa dia sedang mengambek. Mike sudah memilih setidaknya sepuluh gaun untukku, tapi semuanya jelek. Dia tidak punya selera bagus dalam gaun—well, semua orang di sini tidak punya selera." Mom berdecak, lalu menarik gaun dengan bahu terbuka dengan desain polos. "Bagaimana jika ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fortune Cookie (End)
ChickLit(CHICKLIT-MYSTERY-comedy) Rate: 16+ (kissing scene, bad words, adult jokes) Ada tiga hal yang harus diketahui setiap orang di dunia. Pertama, kepingin bekerja di kantoran di usia 18 bukan berarti kau bosan hidup. Kedua, Fortune Cookie tidak bisa mem...