Aku berjalan memasuki pintu sliding kaca yang bening, yang tampaknya seakan-akan pintu itu tidak berada disitu. Kuambil ponselku dari dalam tasku, dan dengan cekatan mencari sebuah nama yang sedang kucari. Kutekan tombol "panggil" dan menunggu sebentar, karena pada deringan kedua, teleponku sudah diangkat."Tan, bisa kesini sekarang? Nana lagi di mall tempat biasa nih," tanyaku segera setelah Tante Mona mengangkat teleponku.
"Nana, Nana. Selalu aja gini, ya udah, cari aja dulu tempat makannya, nanti sms ke tante, kira-kira lima belas menit tante sampe kok," jawab tante Mona dengan sebuah desahan kecil yang terdengar lewat speaker ponselku.
"Oke sip Tan," ucapku dengan girang lalu sesaat kemudian aku memutuskan telepon. Dengan segera, aku mematikan ponselku, lalu berjalan dengan santai memilah-milah restoran yang akan kudatangi, dari sekian banyaknya restoran yang ada di sana.
Setelah sekian lama mencari, aku menemukan sebuah restoran yang bersuasana vintage di sudut mal itu. Kupesan meja untuk dua orang, dan seorang pramusaji mengantarkanku ke meja yang terletak di sebelah sebuah jendela yang besar. Aku membuka buku menu yang sudah diletakkan dihadapanku memesan sebuah fettucine carbonara dan sebuah chocolate milkshake. Selagi menunggu tante Mona, kukirimkan sebuah pesan singkat untuk memberitahu tante di mana kami akan makan siang.
Tak membutuhkan waktu lama tante Mona datang dan langsung mengambil tempat duduk di hadapanku. Tanpa basa-basi, tante Mona memesan makanan yang ditunjuknya dan mengembalikan buku menu itu kembali kepada pramusaji yang mengambil pesanan tante.
"Jadi, mau bicarain apa nih? Biasanya kalau gini mau curhat tentang sesuatu, ya kan?" tanya Tante Mona. Matanya menatapku dengan tajam, seakan-akan mencari kebenaran di dalam mataku.
"Benar sekali! Tante emang tau aku banget sih," ucapku sembari terkikik geli sedikit.
"Jadi? Ada apa ini?" tanya tante lagi, tampaknya dia ingin aku segera mengatakannya tanpa basa-basi lagi.
Aku pun menarik nafasku dalam-dalam, mempersiapkan diriku. "Nana bakal dikirim ke Rusia untuk latihan intensif," ucapku pelan, kurasakan suaraku sedikit tertahan di tenggorokanku.
Percakapan kami terhenti sebentar karena seorang pramusaji membawakan makanan kami. Segera setelah pramusaji itu pergi, Tante Mona langsung menatapku lekat-lekat.
"Lah? Bagus dong!" celoteh tante Mona girang. "Kan kamu suka banget sama balet, trus kenapa nggak senang? Cerita dong ke tante, tante kan masih muda loh," ucap tante Mona lagi, sambil mengedipkan sebelah matanya padaku.
Tante Mona yang mengetahui rasa cintaku kepada balet, pasti merasakan suatu keanehan. Memang jujur saja, aku sebenarnya senang sekali dengan tawaran ini, dan tidak mungkin aku menolak. Namun, di sudut hatiku, sebuah ingatan melambung kembali. Dan jujur saja, aku memiliki firasat tidak enak tentang perjalanan ini.
"Apa hubungannya dengan tante yang masih muda?" tukasku jengkel. Tante Mona terkekeh, lalu menggenggam tangan kananku dan menatapku sendu.
"Nana, sudah terlalu lama kamu nggak ke Rusia. Ayolah, aku tahu Viktor menunggumu disana, selalu." ucapnya sambil mengelus tangan kananku.
Mataku terasa panas, namun kutahan air mata itu sebelum mengalir keluar.
Aku mengangguk pelan. "Ya udah kalo gitu, Tan. Nana akan terima tawarannya. Tapi Nana bakal lama di sana, sebulan. Nggak apa-apa?"
Tante Mona tersenyum kecil. "Iya, Tante nggak apa-apa. Lagi pula Tante yakin kamu pasti hubungin ke sini," Tante Mona mengedipkan sebelah matanya, "Ngomong-ngomong, kapan berangkatnya?" tanyanya lagi penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Shadows |MAJOR EDITING SOON|
RomanceRusia dan Alexandro. Dua kata yang selalu berputar di benaknya, setiap hari. Namun kemudian, datanglah lagi seseorang yang berhasil menginvasi pikirannya dan menghapus jejak Alexandro di dalam hatinya. Takdirkah? Ataukah dia harus melawan orang itu...