24 : Revelation

365 23 12
                                    

Aku membuka mataku perlahan, dan mengerjap-ngerjapkannya. Satu kata yang bisa mendeskripsikan penglihatanku, gelap. Aku tidak tahu aku berada dimana, namun tempat ini sangat gelap. Bahkan secercah cahaya pun tidak ada.

Aku mengernyit pelan. Hal terakhir yang aku ingat adalah bahwa aku sedang berada di pertunjukan dan pingsan dalam pelukan Matvei.

Matvei.

Apa yang sedang dia lakukan?

Aku merasa tubuhku yang seakan-akan sangat ringan ini sedang membubung tinggi di udara bebas. Namun akhirnya aku menyadari bahwa aku bukan terbang ke atas, melainkan jatuh kebawah, ke dalam arus kegelapan yang sepertinya berusaha menerkamku masuk ke jurang yang tak berujung dan tak berdasar.

Aku mencoba menolehkan kepalaku ke samping, namun persendian di leherku terasa kaku. Kucoba menggoyangkan kedua tanganku, namun keduanya kebas.

Apa aku sudah meninggal?

Aku menutup mataku, berusaha mengatasi ketakutan yang kurasakan. Semoga ini hanya mimpi, batinku penuh harap.

Aku mulai menghitung detik demi detik sampai kelopak mataku kembali memberat.

Waktu seakan berjalan dengan sangat cepat, dan ketika aku kembali membuka mataku, aku sudah terbaring bebas di atas sebuah lantai yang sepertinya terbuat dari keramik yang lumayan licin.

Aku meraba-raba sekelilingku, merasakan dinginnya lantai yang menembus gaun katunku yang sepertinya merupakan gaun rumah sakit.

Rambutku sepertinya sangat acak-acakan, dan aku berusaha merapikannya dengan cara menyisirnya menggunakan jari-jariku.

Ini dimana? Ada orang di sini?

Aku membuka mulutku dan mencoba berbicara. Namun yang bisa kudengar hanyalah batinku yang berbicara. Pita suaraku tidak bergetar, dan mulutku pun hanya berkomat-kamit tak jelas seperti seseorang yang melupakan bagaimana caranya berbicara.

Kuusahakan untuk berdiri, dan dengan dorongan kuat pada otot kakiku yang sebelumnya kaku, aku berdiri namun dengan kondisi yang agak timpang. Setelah menyesuaikan kakiku dengan berat badanku, aku mulai berjalan dalam kegelapan, dan meraba-raba udara kosong yang terletak di depanku, seandainya ada sesuatu di sana.

Kemudian aku mendengar suara nyaring seperti pintu yang dibuka dari arah belakang, dan kepalaku secara refleks menoleh ke sumber suara itu. Tampak sesosok bayangan berdiri di sana dari sebuah lubang-yang tampaknya merupakan bekas sebuah pintu-yang memancarkan cahaya menyilaukan.

Aku menutup wajahku dengan telapak tanganku, lalu berjalan perlahan ke arah cahaya itu.

"Nana."

Suara itu bergaung memenuhi ruangan. Suara seorang perempuan.

Siapa?

"Kita perlu bicara, anakku sayang."

Aku masih berjalan ke arah cahaya itu, dan tertegun untuk sesaat ketika bayangan itu mengatakan hal itu kepadaku.

Sebuah jentikan jari terdengar, dan kegelapan yang sedari tadi menyelubungiku pun sirna, seakan-akan semua itu hanyalah permainan mataku semata.

Dan di pintu itu, berdirilah seorang perempuan mungil yang mungkin berkisar 30 tahunan, dan memakai pakaian serba putih.

Wajahnya yang menenangkan itu, tak pernah kulupakan barang seharipun, meski yang bisa kulakukan hanya menatapnya di dalam foto.

Mama.

"Mama...." panggilku lirih.

Air mata mulai menuruni pipiku, turun ke daguku dan menetes ke lantai. Aku mengusap air mata yang mengalir dengan punggung tanganku, dan menatap Mama yang berjalan ke arahku.

Our Shadows |MAJOR EDITING SOON|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang