"Na, maafin gue," Alexandro memelas, sedangkan aku menatapnya dengan sebelah alis dinaikkan.
"Lo gila ya? Kenapa lo berantem sama Matvei di sana kemarin itu, hah?"
Alexandro menatap ubin marmer dengan wajah yang berbekas lebam di sana sini, dan raut putus asa. "Lo juga mukul gue! Mata lo diletakin di mana, sih?!"
"Gue—Gue nggak habis pikir sama kelakuan lo," Aku menelan ludahku. "Gue kira lo udah temenan sama dia. Kenapa sih kalian nggak bisa akur aja?!"
Aku masih teringat dengan kedatangan Alexandro yang tiba-tiba, mengejutkanku dan Matvei yang baru saja kembali dari toilet.
Dan juga, yang paling membuatku terkejut dan benci padanya, adalah saat tiba-tiba dia melayangkan tinjunya ke wajah Matvei.
Lalu karena aku ingin menghentikan mereka, aku malah terkena imbasnya, dan pipiku masih terasa sedikit nyeri. Untungnya tidak membiru. Kalau saja itu terjadi, aku benar-benar akan mencincang Alexandro dan menebar potongannya di samudera Pasifik.
"Lo kira lo siapa, hah?"
Alexandro akhirnya menatapku, dengan mata berkabut. Dia memegang salah satu lebam di pipinya dan meringis. Aku berjalan dengan hentakan kaki, dan mengambil es yang sudah dilapisi dengan handuk kecil lalu memberikannya pada lelaki itu.
"Kenapa sih kalian, nggak bisa akur kaya kucing sama anjing."
Alexandro terdiam, menatap ubin marmer untuk kesekian kalinya. Entah kenapa mungkin sekarang marmer itu lebih menarik perhatiannya daripada masalah yang sudah disebabkannya.
"Gue—"
Aku bahkan tak tahu ingin mengucapkan apa lagi kepada lelaki berkepala batu ini. Dia membuatku ingin melemparnya ke sebuah jurang tanpa dasar agar aku puas.
Alexandro kemudian memberikanku es yang dilapisi dengan handuk kecil itu kembali. Aku memegangnya karena entah kenapa rasanya adem, bukannya dingin ketika diletakkan di atas telapak tanganku.
"Na, lo tau kenapa gue sama dia nggak bisa akur?"
Aku menengadah, dan untuk pertama kalinya, kuamati lebam-lebam di wajah Alexandro, merasa kasihan dengan keadaannya yang menyedihkan.
"Kenapa?" tanyaku pada akhirnya, lalu menggigit bibir bawahku. Semakin lama dia menunda jawabannya, semakin kasihan aku padanya karena luka-luka itu.
Alexandro menarik nafas, dan menghembuskannya dengan keras sambil mengusap wajahnya pelan, menghindari lebam di beberapa titik wajahnya namun meringis ketika tangannya bergesekan dengan salah satu lebam itu tanpa sengaja.
"Karena, gue ada firasat kalo dia suka sama lo,"
Mataku membulat, terlalu terkejut dengan apa yang dia katakan. Sampai-sampai es yang tadi kupegang terjatuh dan berserakan di atas lantai.
Dengan cepat aku mengambil es-es itu sebelum terlanjur meleleh dan menyebabkan lantainya basah, lalu menangkupnya dengan menggunakan handuk kecil tadi. Alexandro pun membantu, namun buru-buru kutepis.
"Lo duduk di sofa sana. Gue perlu bicara lebih lanjut sama lo."
Alexandro memilih untuk menuruti perkataanku, dan langsung berjalan ke sofa. Es-es tadi mulai meleleh, dan dengan setengah berlari, aku menuju dapur dan menumpahkan semuanya di atas wastafel. Tanganku terasa dingin, dan handuk kecil yang tadi kupegang pun kugantung di dekat rak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Shadows |MAJOR EDITING SOON|
RomanceRusia dan Alexandro. Dua kata yang selalu berputar di benaknya, setiap hari. Namun kemudian, datanglah lagi seseorang yang berhasil menginvasi pikirannya dan menghapus jejak Alexandro di dalam hatinya. Takdirkah? Ataukah dia harus melawan orang itu...