Matvei's POV
Aku menatap wajah damai Nana yang tertidur pulas. Wajahnya pucat, rambut cokelat gelapnya tergerai tak beraturan. Sebagian diatas bantalnya, dan sebagian menyelusup ke dekat bahunya.
Kelopak matanya sedikit membengkak, namun tetap saja masih pucat. Bibirnya sedikit biru dan memucat, tak ada semburat warna pink yang seperti biasanya.
Tangannya terkulai lemah disampingnya, dan jari-jarinya lebih kurus dari yang bisa kuingat. Badannya yang sudah kurus itu tampak semakin kurus, dan di tangan kanannya tertancap jarum infus yang selalu membuatku ngilu ketika melihatnya.
"Nana.." panggilku sendu. Aku hanya berharap bahwa panggilanku dapat membuatnya kembali sadar, namun kemudian, itu tak mungkin.
Keadaan malaikat kecilku yang terbaring tak berdaya ini mengurungkan niatku untuk kembali ke Rusia. Seharusnya hari ini aku sudah harus kembali, namun, uang yang kupakai untuk membeli tiketku pulang taklah sebanding nyawa Nana yang mungkin dipertaruhkan disini.
Di ruangan yang senyap dan serba putih ini, suara alat pendeteksi detak jantung berbunyi dalam irama yang sama. Suaranya selalu mengundang rasa sesak dalam dadaku saat duduk di dekat Nana seperti ini, menunggunya sadar.
"Matvei.. You should eat.." ucap Tante Mona sambil mengelus bahu kananku.
Aku menggeleng pelan, menolak meninggalkan sisi Nana. "No. I'm staying with her."
"It's been three days.. If always skip your lunch and almost all you dinner, you'll fall sick too." ucap Tante Mona.
"Your face is already pale. If Nana knew that, she would be angry at you."
Akhirnya aku mengikuti saran Tante Mona untuk makan. Kusambar jaket abu-abuku yang terletak di atas sofa dan keluar dari ruangan setelah pamit. Dapat kulihat wajah Tante Mona yang sama pucatnya seperti wajahku dan tatapan sendunya, aku tau dia juga sedih, malah lebih sedih.
Aku berjalan menuju kantin rumah sakit dengan langkah gontai. Sesampainya di sana, aku memesan makanan seadanya, dan membawanya kemeja paling sudut. Sejujurnya aku tak mempunyai selera makan sedikitpun.
Tiba-tiba kursi di depanku ditarik, dan nampan yang dipegang orang itu ditaruh lalu duduklah seorang lelaki yang kukenal baik-lelaki yang menemani Nana ke Rusia-Alexandro.
"Hi." sapanya kaku. Aku hanya mengangguk samar dan menyendokkan sesuap nasi ke dalam mulutku.
"What's wrong with Nana, actually?" tanyanya.
"She's got.." Aku terdiam dan membungkam mulutku.
Nana mengidap pneumonia, karena dia terlalu capek dan berkeringat terlalu banyak di ruangan yang memiliki pendingin ruangan. Hal itu menyebabkan cairan bertumpuk di dalam paru-parunya dan puncaknya, tiga hari yang lalu, menyebabkan dia pingsan.
Pusing yang dirasakannya itu karena kurangnya pasokan oksigen yang memasuki otaknya dan ya, kalian bisa menebak selanjutnya.
Dia sudah menjalani operasi penyedotan cairan di dalam paru-parunya dan sekarang kita tinggal menunggu sadarnya Nana dari tidurnya.
"Tell me!!" desak Alexandro kasar.
"What?! Some of this is also your fault! You're in the same apartment room with her for one month and you didn't even know!" teriakku dengan penuh amarah. Teriakanku mengakibatkan mata semua orang yang ada di kantin tertuju pada kami.
Alexandro terbungkam dengan mata yang membelalak. Aku menghela nafasku kasar, lalu kembali berbicara padanya. "Excuse me."
Aku berjalan gontai menuju kamar Nana dan sesampainya disana, aku langsung melemparkan diriku diatas sofa, membuat Tante Mona sedikit terkesiap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Shadows |MAJOR EDITING SOON|
RomantikRusia dan Alexandro. Dua kata yang selalu berputar di benaknya, setiap hari. Namun kemudian, datanglah lagi seseorang yang berhasil menginvasi pikirannya dan menghapus jejak Alexandro di dalam hatinya. Takdirkah? Ataukah dia harus melawan orang itu...