10 : Pertengkaran dan Pencurian

600 37 2
                                    

Sebuah ketukan terdengar samar dari pintuku. Pasti itu Alexandro, siapa lagi kalau bukan dia.

"Na, bukain ini gue," seru sebuah suara dari luar, Alexandro.

"Iya sabar, lagi rapiin barang," sahutku.

Segera setelah merapikan koperku di tempatnya, dengan langkah berat, aku berjalan ke arah pintu, menimbulkan suara kaki yang kuat saat aku menapakkan kakiku.

Pintu terbuka dan berdirilah sosok Alexandro yang menjulang. Alexandro memiliki tinggi yang tak normal bagi orang Indonesia, aku saja yang keturunan Rusia harus mendongak ke atas untuk melihatnya dengan jelas. Tingginya itu membuatku iri sekaligus kesal padanya.

"Masuk aja," ajakku sembari berbalik kembali ke arah kamarku yang cukup simpel namun elegan ini. Dengan sigap, dia berjalan masuk dan menutup pintu di belakangnya. Dia mengikutiku berjalan lalu menduduki sebuah kursi santai di dekat ranjang.

"Udah berapa lama gak ke Rusia?" tanyanya memulai pembicaraan ketika melihat sebuah foto yang terbingkai di atas nakas.

Aku menaikkan kedua alisku saat mendengar pertanyaan Alexandro, lalu mendengus. "Setelah pemakaman Papa," jawabku pendek. Mood-ku menjadi tidak enak, apalagi ketika berbicara masalah ini dengan Alexandro. Ingat, dia itu orang sialan yang sudah menghancurkanku.

"Masa? Lama banget," komentarnya. Aku hanya menatapnya dengan raut yang tak bisa kujelaskan, percampuran antara kesal, sedih, bingung dan berbagai macam perasaan lainnya. Lalu aku hanya mengendikkan bahuku.

"Yah, sibuk, gak ada waktu libur," ucapku malas. Aku berjalan menuju sebuah kabinet dan mengeluarkan sebungkus makanan ringan. Setelah membukanya, aku melahapnya dengan santai.

"Gila lo, dia itu bokap elo," komentarnya lagi.

"Gue gak butuh komentar lo. Lagipula, makamnya di sini, di Rusia. Dan lo gak berhak buat protes masalah keputusan yang gue buat karna lo bukan siapa-siapanya gue, Thomas Alexandro Putra!" teriakku murka. Amarah yang tertahan selama kurang lebih tiga tahun akhirnya keluar. Aku berdiri tepat di depannya, menatapnya dengan penuh amarah.

"Lo pikir gue apa? Pulang pergi Rusia setiap gue ada waktu kosong, lo kira gue sekaya itu, hah?"

"Gue tau kok bokap lo pengusaha! Bokap gue? Dia cuma kerja kantoran, dan gue harus bekerja tepat setelah gue tamat, gak kaya lo, yang bisa kuliah! Dan lo dengan gampangnya drop out dari kuliah lo! HEBAT!" Ya, aku tidak sempat menjalani kuliah, karena pada saat aku pindah ke Jakarta, Tante Mona belumlah menduduki jabatannya yang sekarang ia duduki.

"Dan atas dasar itu, lo gak berhak komentar apa-apa tentang hidup gue." ucapku dingin.

Alexandro hanya terdiam menatapku. Lalu dia membuka mulutnya.

"Guー"

"Gue gak perlu kata-kata lo. Sekarang mending lo keluar. Gue lagi butuh sendiri." potongku dingin.

Dia membuka mulutnya lagi, namun ekspresinya tampak ragu. Sedetik kemudian dia mengatupkan mulutnya lalu beranjak dari kursi kecil yang ia duduki. Dia berjalan menuju arah pintu dan membukanya, namun sebelum dia keluar dia berbalik dan menatapku.

"Kalo lo butuh gue, gue ada di kamar sebelah." ucapnya singkat, lalu menutup pintu kamarku, tapi mungkin lebih tepat disebut membanting pintu kamarku.

Suasana kamarku menjadi hening sejenak. Aku menggelengkan kepalaku pelan, mendinginkan kepalaku yang terasa seakan-akan mendidih karena amarahku yang tidak tertahan lalu melemparkan diriku ke kasur. Aku menatap bingkai foto yang terletak di atas nakasku. Menatapnya sendu, menyalurkan kerinduanku kepada kedua orang yang berdiri sembari saling merangkul dengan bahagia. Papa dan Mama.

Our Shadows |MAJOR EDITING SOON|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang