Nana's POV
Perlahan aku membuka mataku, membiarkannya menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan dari langit-langit ruangan.
Tampaknya aku sudah terbangun dari mimpi-mimpi itu.
Maafkan aku, Kakek, Nenek, Papa, dan Mama. Aku akan kembali nanti, jika memang sudah waktunya bagiku untuk kesana.
Aku menoleh dan menemukan Matvei dan yang lainnya sedang berdiri di sekelilingku dengan wajah sembab.
Bibirku terasa kaku, namun aku memaksa diriku untuk memanggilnya.
"Matvei."
Aku mengeratkan genggamanku dan meremas tangannya pelan. Matvei memberiku segelas air putih yang kuminum setengahnya, lalu mengembalikannya pada Matvei.
Matvei mengembalikan gelasnya pada Tante Mona, dan setelah melakukan itu, dia lantas menarikku ke dalam dekapannya yang terasa erat.
"Jangan tinggalkan aku." ucapnya dalam bahasa Indonesia meskipun logat Rusianya masih terdengar jelas.
Punggungku menegang sebentar karena terkejut dengan hal itu, namun aku mengendurkan punggungku dan balas mengelus punggungnya yang tampak agak gemetar.
"Aku tidak akan, lagi." ucapku dengan suara yang masih agak parau.
Matvei mengendurkan pelukannya dan tersenyum lembut padaku. Aku membalas senyumannya dengan bibir yang agak kaku.
Anastasya kemudian menghambur ke dalam pelukanku sambil terisak pelan, dan aku mengelus punggungnya pelan.
"Nana.. I thought.. I thought.."
"Hush, Anastasya, I'm okay right now." Aku berbicara dalam nada lembut, dan sesekali menepuk punggungnya yang gemetar.
Aku mendongakkan kepalaku ke atas dan menemukan Ivan yang sedang tersenyum padaku. Aku membalas senyumannya dan menatap Ivan dan Anastasya bergantian.
"I'm sorry for worrying you guys." ucapku sambil tersenyum.
Anastasya menggeleng samar, lalu Ivan mengajak Anastasya keluar untuk pergi ke toilet dan memperbaiki riasan di wajah sembab Anastasya.
Matvei yang ternyata sedari tadi keluar dari ruangan yang tampaknya UGD ini, sudah kembali bersama seorang dokter yang tampaknya agak terkejut dengan kondisiku.
"Mari, nona Nana, saya periksa dulu, ya." ucapnya sopan. Aku membaringkan badanku dan membiarkan sang dokter memeriksaku.
Setelah kira-kira mengecek semuanya, sang dokter melepaskan stetoskop yang bergantung di telinganya dan berdeham pelan. "Kondisi anda sudah membaik, tapi anda masih harus istirahat dulu. Untuk hari ini dan besok, saya akan lihat perkembangan anda. Kalau memang memungkinkan, anda boleh pulang dalam 2 atau 3 hari."
Aku tersenyum kecil dan mengangguk. "Terima kasih, Dok."
Dokter itu mengangguk samar, lalu melempar senyum formal ke arah Matvei dan yang lainnya. "Kalau begitu, saya permisi dulu, ya."
Setelah kepergian sang dokter, Tante Mona mendatangiku sambil tersenyum haru. Aku segera memeluknya, dan mengusap punggungnya.
"Tante, maaf Nana bikin Tante repot terus.."
"Nggak kok, kamu sih, udah tau diri kamu sendiri sakit kok nggak dibilang-bilang."
Aku tersenyum tipis sambil mengendurkan pelukanku. "Nana nggak mau Tante khawatir, lagipula kasihan yang udah beli tiketnya, masa harus di cancel sama manajemen."
Tante Mona menghela nafas dramatis, lalu memasang tampang yang selalu dia pakai ketika dia akan mengomeliku. Uh-oh.. Aku memasang tampang tolong aku kepada Matvei, namun Matvei hanya mengendikkan bahu sambil tersenyum jahil. Dasar!
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Shadows |MAJOR EDITING SOON|
RomanceRusia dan Alexandro. Dua kata yang selalu berputar di benaknya, setiap hari. Namun kemudian, datanglah lagi seseorang yang berhasil menginvasi pikirannya dan menghapus jejak Alexandro di dalam hatinya. Takdirkah? Ataukah dia harus melawan orang itu...