17. Pilih Mama

638 81 1
                                    

Karina dengan bahagia menutup pintu rumahnya. Setelah menghabiskan waktunya berjalan-jalan bersama Mamanya. Karina akhirnya pulang pukul 10.00 malam. Dia sudah biasa dulu ketika masih menjadi model. Bahkan tak jarang pulang jam dua pagi. Pasti tidak masalah juga kali ini. Tapi begitu dia melangkah, Papanya sudah menunggunya di ruang keluarga.

"Baru pulang kamu? Kemana aja?" tanya Varis dengan suara baritonnya yang kali ini terdengar tidak bersahabat.

"Pergi Pa."

"Sama siapa?"

"Sama Mama." Karina mengatakannya dengan jujur.

"Kamu masih mau bertemu Mama kamu setelah Mama kamu memilih meninggalkan kita?" suara Varis terdengar lebih meninggi dari sebelumnya. Dia sudah tidak sabar melihat anaknya lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Mamanya.

"Mama pasti punya alasan Pa. Lagipula Mama sengaja pulang ke Indonesia cuma buat ketemu aku."

"Kamu percaya gitu aja sama Mama kamu?"

"Kenapa enggak? Pa, Mama nggak baik-baik aja. Mama selalu pucat Pa."

"Kamu darimana tahu? Mama kamu minta belas kasihan kamu dengan berpura-pura sakit?"

"Aku nggak habis pikir sama Papa. Aku nggak pernah tahu kenapa Mama ninggalin kita. Papa juga nggak pernah bilang. Apa aku salah kalau memberi Mama kesempatan kedua?"

"Salah. Karena kesempatan kedua itu nggak ada."

"Bagi Papa salah. Bagi aku enggak." Karina masuk ke dalam kamarnya dan menangis dengan kencang. Dia melepaskan semua rasa sesak di dadanya yang selama ini selalu tertahan. Papanya kini telah membuka topeng akan semua kebaikan yang dulu selalu diberikan padanya. Karina tidak bodoh, Papanya pasti menyembunyikan sesuatu dan sekarang dia mengerti.

Karina menelepon Jeno dan menyuruh laki-laki untuk menjemputnya. Karina memasukkan beberapa pasang baju gan dompet-dompetnya yang berisi atm dan uang yang cukup. Dia hanya ingin meninggalkan rumah ini untuk sementara. Karina keluar dari kamarnya melewati tangga kecil yang ada di samping balkon. Ini adalah tangga yang biasanya dia gunakan untuk mengambil mangga tetangganya yang sudah matang. Karina turun dari pagar dan berjalan beberapa meter menuju post satpam komplek. Beruntung satpam itu sedang tertidur. Setelah menemukan motor Jeno, Karina menyuruhnya untuk ke supermarket. Dia ingin membeli soda dan beberapa makanan.

"Kenapa tadi nangis? Sekarang kabur lagi." Jeno meminum coca colanya sambil menatap perempuan bermata coklat di depannya yang sedang menunduk.

"Lagi marahan sama Papa karena nggak ngebolehin aku buat ngabisin waktu sama Papa." Setetes air mata kembali membasahi pipi Karina berlanjut dengan tetesan berikutnya. Jeno merengkuh tubuh perempuan itu dan menepuk punggungnya agar Karina bisa sedikit lebih lega.

Karin menggenggam dengan erat pinggiran baju Jeno. Melepaskan semua tangisnya. Tangis yang dia simpan dari awal perceraian kedua orang tuanya hingga tangis saat ini. Semua terasa begitu menyesakkan untuk Karina. Ini adalah puncak di mana Karina bersabar.

"Kamu mau kemana setelah ini?" tanya Jeno setelah tangis Karina reda.

"Mau di hotel aja."

"Aku anterin kamu ke rumah Mama kamu atau kamu tinggal di rumah aku?" tanya Jeno yang tidak mau Karina tinggal di hotel.

"Rumah Mama aku aja." Karina mencebikkan pipinya. Tidak suka jika Jeno sudah memberikan ultimatumnya.

Jeno lalu mencubit kedua pipi Karina agar perempuan itu kembali tersenyum. "Senyum dong. Jangan nangis lagi. Aku nggak suka."

"Sakit No." Karina mengusap pipinya setelah Jeno melepaskannya.

"Makannya jangan aneh-aneh. Kak Ajun gimana?"

"Di kos. Udah sibuk banget sama proker-proker kegiatan BEM. Kak Mark juga kan?"

"Iya begitulah. Sering pulang malem atau paginya cuma buat numpang mandi. Emang udah jadi budak organisasi."

"Haha. Lucu banget kamu deh."

"Oh ya Kar. Aku mau lanjut kemana kuliah?" tanya Jeno yang mengganti pembicaraan mereka dengan topik yang lebih berat. Sebenarnya Jeno sudah lama memikirkannya tapi dia belum berani membawa topik ini.

"Maunya se-univ sama kamu aja." Karina tersenyum dengan manis menampilkan deret giginya yang rapi.

Setelah mengantarkan Karina ke rumah Aria, Jeno kembali ke rumahnya. Di sana sudah ada Mamanya yang menunggunya di depan pintu kamarnya. Jeno medekat ke arah Mamanya. Sepertinya ada yang tidak beres kali ini.

***

Lomba pekan olahraga telah dimulai. Vaniel menjadi lebih sering menghabiskan waktunya bermain sepak bola untuk menyiapkan pertandingan. Lomba karya ilmiah yang diikuti Rama juga sudah diadakan bersamaan dengan lomba olimpiade matematika yang diikuti Jeno. Seminggu lagi menjadi acara perlombaan musikalisasi puisi yang diikuti Jeremy. Semua orang dengan kecerdasan masing-masing di dalam grup itu menyibukkan diri.

Tidak ada waktu bagi mereka untuk bertatap muka. Bahkan di kantin pun mereka tidak pernah bertemu karena perbedaan jam istirahat yang diberikan guru pendamping mereka.

"Kar, Jeno sama yang lain sibuk ya? Gue nggak pernah ngelihat mereka." Vanessa menyuapkan siomaynya ke dalam mulut. Karina sekarang menjadi lebih dekat dengan Vanessa. Bukan Karina melupakan Adinda tapi mereka memang tidak pernah sedekat itu sebenarnya hanya beberapa kali saja menemaninya.

"Iya lagi sibuk Jeno sama olimpiade matematika terakhir. Vaniel sama sepak bola, Rama sama karya ilmiah." Karina mengunyah corndog yang dia beli. Dia menatap Vanessa yang masih menunggunya untuk menyebutkan satu lagi teman Jeno yang belum disebutkan sebelumnya. "Jeremy musikalisasi puisi tuh di lantai atas lagi latihan."

"Nggak nanyain dia."

"Tapi lo nungguin. Saran gue sih samper aja. Toh lo suka sama dia, dia juga sama lo." Karina kembali mengunyah corndognya. Jeno tiba-tiba datang dan duduk di sampingnya. Laki-laki itu terlihat pusing dengan matematika.

Karina menyodorkan satu corndog untuk Jeno dan diambil laki-laki itu masih dalam diam. Tidak berniat sama sekali untuk membuka suara. Justru bibirnya hanya fokus mengunyah. Sedangkan otaknya masih merangkai penyelesaian salah satu soal yang berhasil membuatnya badmood.

"Kamu kalau suka sama Jeremy langsung aja samperin orangnya di lantai atas. Daripada anaknya bikin lagu galau mulu dari kemarin." Jeno mengatakan itu seolah tanpa beban. Padahal dari kemarin Vanessa membatasi dirinya.

Vanessa berdiri dari duduknya. "Jeremy benar-benar suka sama kamu. Tapi emang waktunya aja yang nggak tepat." Jeno menatap Vanessa dengan senyum bulan sabit di matanya. Perempuan itu lalu pergi dari meja tempat Karina dan Jeno berada.

"Emang bener?" tanya Karina memastikan pendengarannya.

"Bener kok. Cinta mereka memang rumit, aku, Vaniel, sama Rama kena imbasnya juga jadinya. Jadi mereka harus jadian mau nggak mau."

"Gimana olim kamu?" Karina lebih memilih mengganti topic daripada melihat kekesalan yang ada di diri kekasihnya. "Capek ya?" tidak ada jawaban, tapi Jeno menyandarkan kepalanya pada bahu Karina. Lupakan kantin yang ramai, mereka tidak peduli dengan itu. Haha.

"Capek sebenarnya. Tapi yaudah terakhir juga." Karina mengelus rambut Jeno yang mengilap itu. Beberapa menit setelahnya bel berbunyi dan membuat Karina dan Jeno menghentikan aktivitas mereka. Lagipula Jeno harus kembali melanjutkan bimbingannya. "Hati-hati Karina. Maaf aku nggak bisa nganter."

"Nggak papa." Karina menujuk hidung Jeno dengan jari telunjuk lalu tersenyum dengan manis sebelum meninggalkan Jeno. "Nggak usah ngambek. Pulangnya aku beliin es krim." Perempuan itu melambai sebelum berbelok keluar kantin.

***

Note :

Maaf ini kalau makin nggak jelas alurnya huehue. Maaf ya baru update. Aku kemarin-kemarin lagi sakit jadi nggak bisa ngetik karena mata aku juga sakit. So I hope you like this part. Huehue. Next time I will be update again.

With you ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang