18. Piknik dan Kebersamaan Terakhir

615 77 2
                                    

Pekan lomba telah selesai. Sebagai gantinya, Jeno menepati janjinya untuk melakukan piknik bersama Karina. Vanessa sudah berbaikan dengan Jammy dan laki-laki itu akan ikut dalam acara piknik yang Karina cetuskan. Karina dan Vanessa menyiapkan makanan piknik di rumah Karina yang dekat dengan tempat piknik. Ya mereka memilih melakukan piknik di taman Spathodea Pasar Minggu.

Jeno dan Jammy sudah datang membawa tikar. Mereka membuka kedua tikar itu di atas rerumputan taman kota yang tertata rapi. Tidak ada yang membuka suara sampai Jammy menginterupsi sebuah semut yang datang di tikar Jeno. Laki-laki itu lalu berdiri dan memindah tikarnya di samping Jammy, sebelumnya berada di depan Jammy.

"Jen, sorry buat yang kemarin. Gue malah nyalahin lo. Padahal semuanya salah gue."

"Hmm." Jeno hanya bergumam sambil meniup permen karet yang sudah sejak dari rumah dia kunyah. "Baikan gih sama yang lain."

"Gue nggak tahu caranya baikan sama mereka."

Jeno diam, lalu mengeluarkan ponselnya. Dia mengetikkan sesuatu. Setelahnya Jeno mendudukkan dirinya. Matanya menyipit melihat Karina dan Vanessa yang melambai ke arah mereka. Jeno tersenyum dan mengambil keranjang piknik Karina. Jammy juga melakukan hal yang sama. Benar-benar manis kedua pasangan itu. Dari kejauhan muncul Vaniel dan Rama yang membawa tikar dan beberapa buah kelapa yang belum dibuka.

"Kalian ngapain bawa kelapa?" tanya Jeno dengan wajah cengonya.

"Ya lu ngajakin piknik. Gue sama Rama mana ada persiapan, dadakan lagi kek tahu bulat. Yaudah beli kelapa muda aja ini di jalan."

"Emang lu bisa bukanya?" tanya Vanessa yang sama-sama tidak habis pikir dengan tingkah kedua orang itu.

"Tuh jagonya. Gue udah bawa parang juga. Lengkap deh tinggal dibuka." Vaniel mengatakannya dengan ringan seolah semuanya bisa teratasi karena Jammy jagonya membuka kelapa muda.

"Yaudah sini dah. Lu pada gelar tikarnya sambil nyemilin tu makanan yang dibikin Karina sama Vanessa." Jammy mengambail karung berisi kelapa muda dan parang yang Vaniel bawa. Begitulah mereka berbaikan.

"Gue minta maaf yang kemarin." Jammy mengatakannya ketika Rama dan Vaniel mengambil kelapa muda bagian mereka.

"Yoi." Rama dan Vaniel menepuk pundak Jammy. "Jaga baik-baik tu cewek lu. Gue tikung baru tahu rasa." Vaniel tetaplah Vaniel dengan bahasanya yang suka ceplas ceplos.

Semuanya berakhir begitu saja. Mereka benar-benar menghabiskan waktu dengan baik. Meskipun menjadi obat nyamuk, Vaniel dan Rama tidak masalah karena mereka bisa melihat cewek-cewek yang jogging di taman kota sambil sesekali menggodanya. Benar-benar menjadi hiburan untuk Vaniel dan Rama yang gabut.

"Oh ya. Minggu depan lu lomba kan?" tanya Rama di sela-sela kegiatannya mencabuti rumbut karena gabut.

"Yoi. Mau dengerin lagunya kagak?" tawar Jammy yang masih mengunyah kukis dimulutnya.

"Jorok banget. Makan dulu napa tu kukis. Buat lagunya, gausah deh. Kalau lu menang aja kasih sini lagunya. Haha."

"Pasti menang. Emang dia pernah kalah?" Rama memukul kepala belakang Vaniel yang berakhir menjadi kejar-kejaran karena Vaniel tidak terima dan Rama sudah berlari terlebih dahulu.

"Lucu banget kalian deh." Vanessa menatap teman-teman Jeno itu dengan perasaan menghangat tapi ada sedikit raut sedih yang terlihat di matanya. Dia merindukan sahabat-sahabatnya yang memilih meninggalkannya.

"Udah nggak udah dipikirin. Temen aku temen kamu juga kok." Jammy yang dapat memahami perasaan Vanessa akhirnya tersenyum menghangat. Sorot matanya sudah tidak menampakkan kesedihan.

***

Sepulang dari piknik itu semuanya berakhir menjadi lebih baik. Mereka kembali berteman dan menghabiskan banyak waktu bersama untuk belajar menghadapi ujian nasional yang akan diadakan dua bulan lagi. Jeno dan yang lainnya juga mendapat kesempatan untuk masuk di jalur undangan. Tinggal menunggu pengumuman. Tapi di sisi lain Jeno dan Rama mengambil tes untuk beasiswa di luar negeri. Ada yang ingin mereka kejar.

Rama yang fokus dengan sains kimianya dan Jeno yang fokus dengan teknik nuklir yang ingin dia ambil. Tidak ada yang tahu, hanya mereka berdua karena mereka tidak ingin melihat yang lain sedih.

Semuanya baik-baik saja sampai hari kelulusan tiba. Karina dan Jeno yang datang di acara prom night tidak akan pernah tahu kalau hari itu adalah hari terakhir bagaimana mereka akan bersama.

Semuanya terjadi begitu saja. Keesokan harinya dia menemukan fakta bahwa lima jam lagi Karina akan berangkat ke Perancis. Semuanya mendadak, Jeno tidak siap. Dia melangkah ke dalam rumah Mama Karina dengan mata yang tidak fokus. Matanya mencari-cari keberadaan Karina. Begitu melihat perempuan itu turun dari tangga, Jeno berlari dan mendekapnya. Dia menangis di pelukan Karina.

"Maaf Jeno." Usapan pada rambut Jeno terhenti ketika tangan Karina digenggam oleh Jeno. Dia menatap perempuan itu dengan manik mata sayu. "Maaf ya manis." Karina mengusap pipi Jeno dengan salah satu tangannya.

"Kenapa kamu nggak pernah cerita? Kenapa kamu nggak pernah bilang? Kenapa kamu ninggalin aku... lagi?." Suara Jeno terdengar parau dan lemah. Tidak ada sinar indah pada matanya seperti yang Karina lihat setiap hari.

"Aku nggak bisa bilang Jen. Mama sama Papa aku udah nggak bisa diharepin. Mama cuma punya aku sekarang... dan Perancis adalah salah satu tempat Mama bisa berobat. Di sana Mama bakal lebih tinggi harapan hidupnya. Temen Mama aku yang akan merawat Mama. Aku harus sama Mama."

Jeno diam tapi air matanya tetap mengalir mendengar penuturan dari bibir kekasihnya. Karina menghapus tiap bekas air mata itu. Dia tidak sanggup melihat orang yang dia kasihi menangis karenannya. Kak Ajun juga kemarin kecewa dengan keputusannya yang tanpa berdiskusi terlebih dahulu.

"Kamu juga harus ke Jerman kan?" Jeno membulatkan matanya tidak pernah menyangka Karina akan mengetahuinya.

"Bagaimana kamu tahu?"

"Apa yang bisa kamu rahasiain Jeno dari aku? Aku tahu."

"Tapi sekalipun aku dapet beasiswa aku nggak akan pernah pergi kalau nggak ada kamu."

"Sekarang aku pergi juga kan. Jadi kamu juga harus pergi." Karina mengusap rambut Jeno dengan lembut. "Kita putus ya." Karina tersenyum, senyum yang kali ini tidak Jeno inginkan. Sebuah senyum perpisahan.

"A-aku..."

"Selamat tinggal Jeno." Karina mengusap pipi Jeno untuk terakhir kalinya. Dia tidak akan pernah rela berpisah dengan Jeno tapi dia harus. Jika tidak, Karina tidak akan bisa pergi ke Perancis untuk pengobatan Mamanya. Pilihannya tidak ada yang baik.

Memilih untuk meninggalkan salah satu jiwanya yang sudah dia berikan pada Jeno atau memilih Mamanya yang tidak bisa tertolong. Semuanya tidak ada yang lebih baik. Tapi kali ini Karina tidak boleh egois. Mamanya harus sembuh terlebih dahulu.

"Maafkan aku Jeno." Karina menatap punggung laki-laki yang dia patahkan itu dari balkon atas. Kali ini dia tidak menyembunyikan air matanya. Dia menangis dalam sambil melihat kepergian Jeno dari rumahnya. Dadanya sesak, dia tidak akan pernah menginginkan semua ini terjadi tapi lagi-lagi takdir seolah memberikannya sebuah kekecewaan yang mendalam. "Semoga kita bisa ketemu lagi, my beloved boy. I will still love you wherever you are."

With you ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang