26. Rollercoaster-nya Kehidupan

600 92 2
                                    

Hari sabtu setelah penatnya hari baru Jeno akhirnya bisa ia habiskan untuk tidur-tiduran di dalam apartemennya. Tapi tunggu, harum bau masakan pagi itu menyapa indra penciumannya. Bibirnya lalu tersenyum sampai terangkat sepenuhnya. Matanya masih tertutup sempurna. Dipeluknya guling yang ada di sampingnya dengan erat. Semalam dia menelepon Karina dan merengek merasa kecapekan. Bahkan meminta Karina untuk datang ke apartemennya menemaninya tidur. Tapi setelah Karina menyanyikan lagu padanya, dia tertidur.

Ternyata pagi ini Karina datang ke apartemennya dan memasak untuknya. Wajah Jeno memerah di dalam gulingnya. Senyumnya bahkan tidak hilang-hilang sampai bunyi pintu kamarnya di buka. Karina diam sambil bersedekap di depan pintu sambil mengamati tingkah Jeno yang berguling ke kanan dan ke kiri menahan rasa gemas di dadanya.

"Gausah malu! Biasanya juga malu-maluin." Suara Karina menggema di dalam ruangan. Menghentikan kegiatan randomnya Jeno. Perempuan itu lalu tersenyum dan mendekat ke ranjang. Dia mengusap rambut Jeno. Wajah laki-laki itu masih setia terbenam di gulingnya. "Mau makan nggak?" tanya Karina dengan lembut.

Tidak ada balasan sampai Karina mengecup dahi Jeno. Laki-laki itu dengan reflek menjauhkan wajahnya dari bantal. Ini kali pertama Karina mencium dahinya. Yaa sebenarnya untuk kedua kalinya tapi yang Jeno tahu hanya baru sekali.

Laki-laki itu tersenyum sampai matanya hilang. Lalu memajukan pipinya. Mengode untuk meminta cium juga. Karina justru menarik Pipi gembil itu dengan lebar sampai membuat Jeno membuka matanya. "Gausah manja ya Jen pagi-pagi gini. Sekarang makan, nggak laper?"

"Galak amat ya ampun." Jeno mencebikkan bibirnya. Bukannya dilepaskan, Karina justru menarik kedua pipinya dengan sangat lebar sampai membuat Jeno memegang lengan kecil Karina. "Iya enggak galak." Dia mengusap kedua pipinya.

"Manja banget sih kamu soalnya. Heran. Kemarin-kemarin sok-sok an dingin banget pas ketemu lagi. Sekarang, beuh isinya ngerengek mulu." Jeno mengekori Karina yang mempimpin menuju dapur. Perempuan itu lalu meletakkan nasi di atas piring yang sudah dia siapkan. Dia membuatkan sup rumput laut kesukaan Jeno. Ayam goreng dan susu coklat. Benar-benar seperti makanan anak kecil bukan?

"I-nih ennn—ak bangeut." Jeno memuji masakan Karina dengan mulutnya yang penuh. Kebiasaan laki-laki itu ketika makan. Kalau belum penuh, bekum dikunyah makanannya.

"Mau jalan-jalan nggak habis ini?"

Jeno mengunyah makanannya dan menelannya dengan cepat. "Mau-mau. Mau kemana?" mata anak anjing itu bersinar dengan terangnya menatap Karina dengan inisiatif perempuan itu.

"Ke pantai?" tawar Karina yang diangguki dengan semangat oleh Jeno sampai matanya hilang.

"Mama kamu gimana?" tanya Jeno menyadarkan sesuatu. Tidak mungkin mereka akan bersenang-senang meninggalkan orang terkasih pacarnya itu.

"Justru Mama yang nyuruh aku buat ngajakin kamu pergi. Kasian menantunya katanya kelelahan dengan hidup barunya."

"Tante bisa aja. Tapi beneran nggak apa-apa?" Jeno memastikan kembali.

"Iyaaaaa." Karina gemas dengan laki-laki itu sampai mencubit pipinya lagi. Ya habisnya Jeno memang terlalu menggemaskan.

"Okay deh. Siap melaksanakan tugas dari ratu dan tuan puteri."

Hari itu mereka habiskan untuk refreshing menikmati hari sabtu berjalan-jalan di tepi pantai. Berkerjaran dengan air pantai yang datang dan pergi dari tepian. Seolah bayaran atas kesibukan yang melanda mereka akhir-akhir ini. Tapi sebenarnya apapun yang terjadi prinsip mereka adalah tetap bersama.

"Asal sama Jeno aja, cukup buat aku bahagia." Senyum karina sambil bersiap memercikkan air pantai kea rah Jeno.

"Sama Karina aja, itu cukup." Dengan tangan terbuka Jeno menerima percikan air itu.

Cinta itu bukankah sangat sederhana? Asal dengan orang yang bahagia sudah cukup menjadikan tanda terima kasih atas kehidupan.

***

Semuanya masih baik-baik selama seminggu ini. Karina dengan kesibukannya mengurus Mamanya dan sesekali membantu Ajun menjadi sekretaris. Membuatkan bekal untuk Jeno karena laki-laki itu jika sudah kerja akan lupa dengan perutnya atau ketika Karina menghabiskan malamnya bersama Jeno. Berdiskusi membicara masa depan atau hanya sekedar makan malam bersama. Jangan lupakan liburan terakhir mereka kemarin.

Masih terasa baik-baik saja. Tapi tidak untuk hari ini. Ketika Jeno menjemput Karina pagi ini, Mamanya dikabarkan kritis. Tidak ada lagi yang bisa dipikirkan perempuan itu. Rapalan doa saat perjalanan menuju rumah sakit tidak pernah lepas dari bibirnya. Sesekali dia menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya bergetar tanpa bisa dia cegah. Pikirannya hanya terfokus pada keadaan Mamanya.

Begitu sampai di depan ruang rawat, tubuh Karina meluruh seketika. Tepat kedatangannya dokter yang sedang berbicara dengan Papanya itu terdengar olehnya. Tangisnya pecah. Tubuhnya meluruh ke lantai. Dunianya runtuh saat itu juga. Mamanya pergi. Tanpa mengatakan apapun padanya. Tanpa memperlihatkan senyuman terakhirnya. Dadanya terasa sakit. Tangannya meremas dari luar bagian tempat itu berdetak.

Jeno mendekapnya, menenangkan perempuan yang sedang kehilangan sebagian hidupnya. Tangannya dengan teratur mengusap punggung Karina. Sesekali berganti mengusap rambutnya. Tangannya dicengkeram erat oleh Karina dengan tangan kirinya. Menghantarkan Jeno pada perasaan yang kini Karina rasakan. Dihembuskannya napas untuk menenangkan dirinya sendiri. Tidak boleh lemah, dia harus kuat untuk Karina.

Saat pemakaman tiba Karina menatap jasad Mamanya dalam diam. Dia lelah untuk menangis. Air matanya bahkan terasa sudah habis. Tapi dadanya masih sesak. Semuanya masih terasa seperti mimpi untuknya. Dia tidak terima dengan semua yang Tuhan berikan padanya saat ini. Belum cukup rasanya untuk berbakti dengan Mamanya. Belum cukup rasa rindunya tersampikan karena perpisahan dulu. Belum cukup waktunya untuk membahagiakan Mamanya.

Begitu pemakaman selesai. Jeno mengajak Karina pergi tapi tidak mendapat respon apapun. Tubuhnya tetap membeku menatap kuburan basah bertabur bunga di depannya. Dia tidak mendengar apapun. Dia masih sibuk dengan pikirannya mengulas kilas balik masa-masa bersama Mamanya ketika di Perancis. Tidak ada sahutan. Pada akhirnya Jeno menggendong tubuh Jeno ala bridal style.

Karina mengalungkan tangannya ke leher Jeno dan menyembunyikan wajahnya di dada Jeno. Lama-kelamaan tubuh itu bergetar. Tangisnya terdengar kembali. Karina mengeratkan kaitan tangannya di leher Jeno. "Jeno..." lirih perempuan itu dengan lemah.

Hanya Jeno saat ini yang Karina bisa jadikan tumpuan. Jeno yang selalu berada di sisinya. Setidaknya dia masih punya Jeno untuk bisa menumpahkan semua perasaannya. Tidak terbayangkan jika dia tidak memiliki Jeno-nya. Tidak akan ada sosok yang menerima tangisnya. Papanya pasti lebih memilih untuk menyendiri, kakaknya pun sama. Saat perceraian kedua orang tuanya dulu Karina tidak memiliki siapa-siapa untuk menjadi tumpuannya. Sekarang berbeda, dia punya Jeno dia bisa mengeluarkan semuanya. Meski pernah ditinggal sebelumnya oleh Mamanya, tapi perasaan ini tetap berbeda. Karina tidak akan pernah bertemu Mamanya lagi, sampai kapanpun. Jika dulu, setidaknya dia masih mempunyai harapan untuk bertemu. Sekarang, tidak ada lagi harapan itu.

 Sekarang, tidak ada lagi harapan itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



With you ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang