30. We Have Different Vibes

682 70 9
                                    

Terkadang memang perlu banyak cara untuk mengingatkan kesalahan. Salah satunya dengan melihatnya meninggalkan kita di depan mata kita. Setelah berlari kesetanan menuju bandara. Hari itu Karina tidak bisa melihat Jeno sama sekali. Ya, laki-laki berwajah samoyed dengan senyum yang menenangkan itu meninggalkannya. Entah perlu waktu berapa lama sampai laki-laki itu kembali, Karina tidak tahu. Dia hanya bisa menyaksikan suara pesawat yang terbang menjauh dari bandara.

"Hobi banget lu nyakitin diri sendiri. sekarang gimana ngelihat orang yang lu sayang pergi gitu aja tanpa pamit?" Laki-laki berkacamata hitam dengan gaya slengeannya itu berjalan dan mendekat ke arah perempuan yang sedang meneteskan air matanya.

"Lu kenapa ada di sini?" Karina menghapus air matanya dengan kasar.

"Biasalah. Ngapain lagi kalau enggak nganterin orang yang lo sayang pergi?" Vaniel menaik turunkan alisnya. Menggoda perempuan beramata merah akibat dari kegiatannya menangis.

"Kenapa dijelasin sih." Karina kembali meneteskan air matanya. Lagi-lagi tangannya menghapus dengan kasar.

"Ya biar lo semakin nyesel udah ninggalin dia." Vaniel menghembuskan napasnya dengan kasar. Kasian sebenarnya melihat perempuan menangis. Vaniel mana tega, hatinya kan lembut. "Biar lo ngerasain gimana rasanya ditinggalin."

Bukannya menenangkan perasaan Karina, Vaniel malah semakin menjatuhkan perasaan perempuan itu. Sebenarnya niatnya baik untuk menyadarkan Karina agar tidak egois. Lagipula apa enaknya ditinggalkan tanpa kejelasan? Vaniel saja tidak pernah terlibat dengan kisah rumit. Cintanya kan semulus jalan tol karena perjodohan. Padahal aslinya juga tidak seperti itu kalau kata Jeno.

"Jadi gimana rasanya?" Vaniel berjalan meninggalkan Karina tapi seperti yang dia harapkan, perempuan itu mengikutinya.

"Lu pikir enak? Ya jelas enggak." Karina menggembungkan bibirnya. Kepalanya menunduk di samping Vaniel. "Tapi Jeno baik-baik aja kan?"

"Ya lu pikir aja dia gimana. Sama kayak lima tahun lalu. Tapi lebih baik sih karena pengalaman ditinggalkan membuatnya lebih mengerti bagaimana caranya bertahan dalam kerinduan."

"Bagus deh."

"Lebih bagus lagi kalau lo bersikap dewasa Kar." Vaniel membuka pintu coffeshop itu, menahannya untuk Karina. Mereka mamesan dua americano dan duduk di pojok meja yang jauh dari jangkauan kaca. "Lo udah nyadar sama kesalahan lo?"

"Gue ngejar dia tadi lu pikir gue nggak sadar?" Karina lama-kelamaan juga capek jika dipojokkan oleh Vaniel.

"Bagus deh."

"Dia mau maafin gue nggak ya Niel?"

"Gue nggak tahu kalau itu. Tapi dari apa yang dia bilang kemarin itu dia mau nyerah sama lu."

Karina membulatkan matanya, tidak percaya dengan apa yang dikatakan Vaniel. "Jangan bohong sama gue lo." Karina kembali mengegas mendengar penuturan Vaniel.

"Kan, lu juga yang buat dia kayak gitu. Udah konsekuensi tuh Kar."

"Gue tahu gue salah Niel. Gue mau memperbaiki semuanya. Gue sayang banget sama dia. Takut kehilangan dia sampai gue yang justru nyakitin dia terlalu banyak.

"Semoga lo bisa memperbaiki kisah lo sama Jeno." Karina memandang vas bunga di depannya sejauh pandangan dia untuk masa depan yang entah akan berlanjut sepeti apa.

***

Amrik bukan tempat yang Jeno inginkan sebenarnya. Bukan karena cuaca yang panas pada Negara itu, bukan karena makananya, bukan pula karena ramainya. Lebih karena perasaannya yang tidak baik-baik saja. Tempat ramai seperti ini bukan tempat yang cocok juga. Berjalan di reramainya kota tidak membuat perasaannya membaik. Justru tidak ada kata menariknya. Dia hanya menikmati pemandangan orang berlalu lalang bersama pasangan mereka. Entah memakan es krim, berjalan bersama anaknya, atau bahkan bermain-main di pinggir jalan sambil melakukan piknik.

With you ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang