23. Midnight Talk

685 82 9
                                    

Beberapa kali Jeno melirik ke arah Karina. Perempuan itu masih sabar menunggu Jeno. Senyumannya tidak pernah luntur. Jeno yang berdiri diradius lima ratus meter itupun ikut tersenyum. Sudah lama Jeno tidak pernah melihat senyum itu. Senyuman yang mendamaikan hatinya.

"Kamu suka sama dia Cas?" Greynda, perempuan itu berdiri di belakang Jeno. Sedari tadi matanya tidak pernah lepas melihat Jeno yang selalu memastikan keberadaan perempuan berambut hitam lebat yang duduk sambil mengamati syuting malam itu. Tidak biasanya Jeno membawa seseorang kecuali Vaniel.

"Iya. Dia mantan gue." Jeno melirik Greynda yang ada di sampingnya.

"Cantik. Pantes kamu nggak pernah bisa move on."

Jeno menatap Greynda dengan senyum tipis. "Kalau cantik doang lu juga cantik Grey. Banyak yang cantik, gue tinggal pilih aja salah satu dari kalian. Tapi enggak bisa gitu. Gue suka dia bukan karena dia cantik tapi karena dia Karina." Jeno memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Dia memakai setelah Jas berwarna krem malam itu.

"Gue nyerah aja kalik ya Cas. Soalnya susah deketin kamu. Apalagi orang di masa lalu itu udah balik. Kayaknya nggak ada harapan." Greynda tertawa kecil mendengarnya.

"Iya harusnya gitu." Greynda dan Jeno berpandangan. Mereka lalu tertawa bersama.

"Semoga lo bisa kembali sama dia. Secepatnya." Greynda menepuk pundak Jeno. Mereka bersiap untuk mengambil adegan kembali.

Syuting hari itu berakhir tepat ketika tengah malam tiba. Jeno kembali ke kursinya. Dia menatap Karina yang tidur dengan selimut yang dia berikan tadi ketika Karina mulai terlelap. Jangan heran, karena Jeno selalu mengamati perempuan itu. Begitu Karina tertidur, Jeno mengambil selimutnya dan menyelimuti Karina. Udara malam tidak baik untuk tubuh.

Jeno sebenarnya tidak ingin Karina menungguinnya sampai malam. Tapi dia juga tidak ingin membiarkan Karinannya pergi. Dia merindukannya, dia ingin menghabiskan waktu seharian penuh bersama Karina seperti dulu. Dia tidak ingin munafik lagi. Dia ingin menggapai Karinanya kembali.

Jeno menyingkirkan rambut Karina yang menutupi wajahnya. Lalu turun ke pipi Karina, hawa dingin menempel pada kulit perempuan itu. Dia merasa bersalah. Apalagi Karina belum makan malam karena ingin menunggunya. Perempuan itu bahkan tidak mau dipesankan makanan tadi.

"Kar!" Jeno menoel-noel pipi Karina menggunakan telunjuknya. Cara itu berhasil membuat Karina membuka matanya.

"Udah selesai Jen?" tanya Karina dengan mata sayu dan suara khas bangun tidur.

"Udah. Kita pulang ya." Karina mengangguk. Mereka lalu masuk ke dalam mobil Karina.

Jeno membelokkan mobil untuk membeli burger. Karina diam saja karena memang dirinya juga lapar. Setelah selesai, Jeno menjalankan mobil Karina kembali. Mereka berhenti di pinggir kota. Mereka sedang berada di daerah perbukitan. Pemandangan kota malam itu terlihat indah. Lampu-lampu yang berkilau dari tiap gedung yang terpancar berwarna kuning keemasan dipadukan dengan sibuknya jalan raya yang berisik dengan bunyi klakson motor atau mobil bersaut-sautan.

Jeno dan Karina duduk di bagian depan mobil sambil menikmati burger yang sempat mereka beli. Hening beberapa saat hingga Karina memecah keheningan. "Rindu banget sama Kota Jakarta. Apalagi suasana malam harinya."

"Iya benar," Jeno membalas dengan singkat. Dia melihat Karina yang kedinginan. Jeno melepaskan hoodienya dan memberikannya pada Karina.

"Makasih Jen."

"Meskipun Kota Jakarta itu ramai dan kadang macet tapi kenangannya selalu membuat rindu. Apalagi kita memang sudah lama tinggal di sini."

"Iya kamu benar. Oh ya Jen. Emm... keadaan tante Keisha sama om Bagas gimana?"

"Baik-baik aja. Mama katanya kangen banget sama kamu. Kapan-kapan datang aja."

"Kalau temen-temen kamu?"

"Emm..." Jeno meminum coca colanya. Pandangannya menerawang jauh ke lima tahun lalu. "Vaniel dia pemilik agensi yang naungin gue. Jammy nerusin perusahaan bokapnya yang ada di bidang jasa. Udah punya Caca, itu pasti lo udah tahu. Rama, dia kuliah di Jepang dan akhirnya jadi ilmuwan di sana. Nggak pernah pulang dia." Jeno menjelaskannya dengan tenang tiap kesibukan yang dimiliki teman-temannya.

"Kamu sendiri kenapa milih buat jadi aktor Jen?" Kini mereka saling berpandangan. Mata sipit Jeno menatap Karina dengan dalam. Pertanyaan ini pasti akan ditanyakan oleh Karina, Jeno sudah menduganya.

"Kalau aku bilang karena kamu gimana?" mata Karina membuat Jeno tanpa sadar mengikuti gaya bahasa Karina yang menggunakan aku-kamu. Tandanya tertarik dengan lawan bicaranya.

"Kenapa?" tanya Karina. Mereka masih berpandangan saat ini.

"Karena dengan itu, aku merasa dekat denganmu." Mendengar jawaban Jeno, membuat Karina memutuskan pandangan mereka. Perempuan itu mengipasi wajahnya yang terasa panas. Pipinya mungkin sudah memerah seperti tomat. Sedangkan jantungnya sudah bertalu-talu seperti tabuhan gendang.

"Jen, aku nggak mau kamu main-main." Karina kembali menatap Jeno. "Berhenti membuat hal yang nggak pernah kamu mau." Karina ingin menyentuh pipi Jeno tapi dia mengurungkan niatnya. Sungguh dia merindukan pipi tirus si pemilik mata bulan sabit. Karina juga merindukan senyuman manis laki-laki. Apalagi ketika senyum, matanya ikut tersenyum juga.

"jangan bersikap dingin juga denganku. Kembalilah seperti Jeno yang dulu." Karina melanjutkan ucapannya dengan lirih. Dia ingin menangis saat ini karena baginya semua kesalahan ada padanya. Semua karena dirinya.

Jeno diam, dia memandang langit malam yang terlihat tanpa bintang. Kosong seperti perasaannya lima tahun ini. Terasa tidak ada pelangi yang benar-benar muncul di dalam hatinya. Jeno menghembuskan napas dengan lembut. Tidak ingin membuat Karina terluka.

"Aku akan mencobanya. Jangan pernah menyalahkan dirimu atas apa yang aku lakukan. Kamu memang berperan besar dalam perubahanku tapi berubah atau tidaknya tergantung aku Kar. Perubahan itu ada, untuk membentengi diri." Jeno menyingkirkan rambut Karina yang menutupi wajahnya ke belakang telinga. "Perempuan manis ini tidak boleh sedih." Jeno tersenyum dengan lebar menampilkan gigi-gigi putihnya yang rapi. Matanya pun ikut tersenyum.

Setelah lima tahunberlalu akhirnya Karina menemukan senyum itu lagi. Senyum yang selalu diarindukan. Senyum yang membuatnya jatuh hati. Senyum yang tidak pernah Karinalupakan. Dia menemukan Jeno-nya malam ini.







Gue usahain buat secepetnya ngelarin ini cerita sebelum gue disibukkan sama proker organisasi (sebenernya udah agak sibuk saat ini) 😭. Memang masih liburan sampai bulan depan tapi ya... gue agak mamang bisa bagi waktunya atau enggak. Gue harap bisa nyelesaian sesegera mungkin.

With you ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang