27. Together

564 79 0
                                    

Tatapan dari sorot mata pemilik alis tebal itu tidak pernah lepas dari sosok perempuan di sampingnya. Dalam diamnya dia ikut terpukul dan merasakan pedih. Seharusnya dia bisa berjanji di hadapan pendeta terlebih dahulu untuk membuktikan janjinya pada Mama Karina tapi tidak. Jeno bahkan belum memikirkan waktu yang tepat untuk melamar Karina. Penyesalan tentu menghampiri perasaannya.

"Nggak mau pulang beneran?" tanya Jeno untuk kedua kalinya. Selama lima menit Karina diam karena tidak ingin pulang ke rumah. Jeno mengulurkan tangannya dan mengusap air mata Karina yang masih tersisa. "Ke apartemen aku nggak papa?"

Mau bagaimana lagi? Cuma itu satu-satunya yang bisa Jeno tawarkan. Setidaknya Karina akan aman dengan tinggal di apartemennya untuk sementara waktu. Lagipula dirinya bisa kembali untuk tinggal di rumah.

Karina mengangguk. Dia tidak ingin berada di rumah Mama ataupun Papanya karena hanya ada kenangan di antara mereka berdua. Itu akan menyakitkan untuk dirinya. Bayang-bayang Mamanya tidak akan lepas. Karina akan semakin lama untuk ikhlas.

Segera setelahnya Jeno melajukan mobilnya menuju apartemennya. Hari sudah beranjak sore. Mereka belum makan siang karena mempersiapkan acara pemakaman tadi. Sesampainnya di baseman Jeno membuka pintu mobil dan mengangkat Karina kembali. Tubuh perempuan itu terlalu lemah. Bahkan wajahnya terlihat sangat pucat dan terasa agak panas. Ini yang Jeno takutnya dari tadi saat melihat perempuan itu tidak berhenti menangis.

Jeno meletakkan Karina di atas kasur. Mengambil satu pasang bajunya untuk dipakai Karina. Perempuan itu tidak mau mandi. Dia tidak berkeinginan untuk melakukan apapun. Tapi Jeno tetap menyuruh Karina berganti pakaian. Sedangkan laki-laki itu keluar menuju dapur. Diletakkannya jas hitam yang masih melekat di tubuhnya ke kursi bar. Lengan kemejanya digulung ke atas untuk bersiap memasak sup dan telur goreng untuk makan siang sekaligus makan malam mereka. Makanan yang sederhana ketika kelaparan.

Setelah selesai dengan masakannya. Jeno mengantar makanan itu ke kamar. Karina sudah berganti menggunakan pakaiannya. Perempuan itu duduk bersandar di kepala ranjang sambil memeluk bantal. Jeno yang melihatnya hanya menghela napas. Diletakkannya nampan itu di atas nakas.

"Makan ya Kar, belum makan kamu dari tadi siang." Jeno mengambil tangan Karina. Diusapnya dengan lembut sampai perempuan itu beralih menatapnya. Perempuan yang sedang rapuh itu hanya menatap kosong. "Kalau kamu nggak makan, tante Aria pasti sedih. Makan dulu ya." Raut wajah Jeno sudah berganti memelas. Karina jadi tidak tega melihatnya. Akhirnya dia mengangguk.

Jeno dengan telaten menyuapkan sup dan nasi ke dalam mulut Karina. Padahal dia sendiri belum makan. Tidak masalah, asal orang yang dia sayang itu mau makan saat ini. Begitu selesai, Jeno kembali ke dapur dan memakan makanannya. Dia menghubungi pembatu Karina untuk mempersiapkan bajunya. Lalu beralih menghubungi Vaniel, meminta bantuan laki-laki itu untuk mengambil baju Karina di rumah tante Aria. Vaniel yang tahu keadaan tidak melakukan penolakan. Dengan tenang laki-laki itu membantunya. Tidak seperti Vaniel yang dulu, sekarang dia lebih bisa bersikap dewasa. Dia kan mau menikah.

***

Setelah berberes dan berbersih diri. Jeno berniat keluar dari kamarnya tapi Karina menahannya. Perempuan itu ingin ditemani. Tidak seperti biasanya memang. Jeno menurut saja. Dia menemani Karina yang tidak ingin ditinggal. Bahkan meminta untuk dipeluk. Ya mereka akhirnya tidur bersama sampai pagi hari.

Meski keadaan Karina bisa dibilang belum membaik tapi Jeno tetap harus bekerja pagi itu. Tapi dia tetap menyediakan waktunya untuk memasakkan makanan kepada Karina. Bayangkan saja jika sudah menikah. Karina tidak perlu khawatir akan kekurangan kasih sayang dan perhatian dari Jeno. Laki-laki itu bahkan tidak banyak bicara untuk melakukannya. Dengan senang hati memberikan perhatian sepenuhnya. Karina merasa diperlakukan layaknya seorang puteri.

"Baju kamu semalam aku taruh di dalam almari aku. Jadi kamu buka aja buat ngambil bajunya." Jeno meletakkan sepiring pasta carbonara di depan Karina. Tidak lupa menuangkan susu vanilla yang sudah dia hangatkan sebelumnya. Dengan senyuman manis dari bibir dan matanya Jeno membuat Karina merasa tidak enak. Harusnya dia yang memasakkan Jeno. "Makan aja. Kalau mau masakin aku mah nanti aja kalau udah nikah."

Karina tersenyum kecil mendengarnya. "Emang mau nikah sama aku?" Jeno menurunkan bibirnya yang tadi tertarik ke atas. Dia menatap Karina dengan dalam.

"Kenapa harus ada jawaban enggak? Kamu ngomong apa sih Kar?" Jeno jelas tidak suka Karina mengatakan itu.

"Aku nggak tahu..." Karina memasukkan pasta ke dalam mulutnya. Saat ini keadaannya tidak baik-baik aja. Bahkan hal apapun berhasil membuatnya berpikiran yang tidak-tidak. Apalagi pembahasan Jeno itu adalah hal yang selalu Karina ragukan dari laki-laki itu. Jeno bahkan belum melamarnya, ingat! Hal itu sudah mengganggu Karina dari lama. Karina hanya ingin mendapatkan kepastian.

Jeno diam tapi tidak dengan hati dan pikirannya. Semuanya terasa salah. Dia ingin marah. Hanya saja keadaannya seolah tidak mengizinkan itu terjadi. Akhirnya Jeno mengambil tas dan jas kerjanya tanpa mengatakan apapun. Pasta Jeno yang berada di depan tempat Karina bahkan belum tersentuh sedikitpun. Karina meletakkan garpunya dan menangis dalam diam. Dia hanya ingin kepastian dari Jeno, bukan kepergian laki-laki itu. Waktunya tidak tepat, tapi Karina hanya ingin memastikan dirinya bagi Jeno.

***

Vanessa akhirnya mendatangi apartemen Jeno setelah mengantarkan Caca ke sekolahnya. Dengan perasaan bersalah Karina memeluk perempuan itu. Kandungan Vanessa sudah terlihat lebih besar dari sebelumnya. Dia jadi tidak tega menyuruhnya datang. Tapi apa boleh buat, Vanessa juga sebenarnya malas di rumah sendirian.

"Gimana keadaan kamu?" tanya Vanessa setelah masuk ke dalam apartemen.

"Ya gitu. Gue malah berantem sama Jeno." Vanessa mengerutkan dahinya. Tidak biasanya mereka bertengkar. Bahkan dulu waktu SMA saja tidak pernah. Mungkin ini adalah pertengakaran pertama mereka.

"Apa yang buat kamu bertengkar sama dia?" tanya Vanessa sambil memakan kukis cokelat yang ada di apartemen Jeno. Pemilik apartemen itu memang selalu menyediakan makanan ringan. Tidak hanya manis; pedas, dan asin pun ada.

"Jujur aja... gue mulai ragu sama dia."

"Hah?" Vanessa tentu terkejut sama Karina. Kehilangan Mamanya sepertinya membuat Karina kehilangan kepercayaan dirinya juga. Ini hal yang tidak bisa Vanessa bayangkan.

"Gue takut gabisa milikin dia. Dia terlalu baik sama gue Van. Perhatian dia, cara dia memperlakukan gue, semuanya. Bikin gue takut kehilangan dia kalau gue gabisa sama dia." Karina terisak kembali hanya dengan membayangkan kemungkinan terburuknya.

"Shutt, enggak-enggak Kar. Percaya sama Jeno. Dia nggak mungkin ninggalin kamu. Inget pas kalian pisah? Bisa aja dia sama yang lain. Tapi dia tetap setia nunggu kamu." Vanessa dengan tenang mengusap punggung Karina.

"Gue udah nunggu dari lama Kar. Tapi dulu waktu ngomong sama Mama Papa pas pernikahan Kak Ajun itu juga dia belum kepikiran. Gue gamau kehilangan orang yang gue sayang lagi."

"Kar!" Suara Vanessa naik satu volume untuk memberikan peringatan kepada Karina. Dia hanya tidak ingin perempuan itu bersedih hanya karena pikiran-pikirannya sendiri. Kenyataannya Jeno tidak seperti itu. Vanessa tahu dengan pasti bagaimana peringai laki-laki bermata sabit itu. "Aku tahu kamu percaya sama dia. Saat ini kamu hanya ingin kepastian tapi Kar rasa sedih kamu ini hanya datang dari pikiran kamu sendiri."

Biasanya kalau orang sedang sedih memang begitu bukan? Merasa semuanya serba salah. Orang lain juga kena imbasnya dari perasaan itu. Vanessa maklum dengan itu. Bahkan untuk percaya masih ada skenario terbaik dalam hidup aja rasanya hilang semua. Tidak enaknya kesedihan selalu berhasil memecahkan sebuah hubungan. Terkadang sama-sama lelah yang berakhir menjadi bom waktu yang menunggu untuk diledakkan. Vanessa tidak ingin itu terjadi. Kedua sahabat baiknya perlu memperbaiki perasaan masing-masing.

"Van, pikiran gue kacau banget sumpah. H-hah. Semuanya kerasa salah dimata gue. Semuanya seolah nggak pernah baik di hidup gue. Kar, gue takut gue yang kayak gini bikin Jeno pergi. Gue takut gue kehilangan pikiran gue sepenuhnya. Gue kenapa susah banget ngontrol perasaan gue. H-hah. Kenapa gue malah ga percaya sama dia." Karina berbicara di tengah isakannya. Matanya kembali mengeluarkan air mata dengan deras. Dia bingung dengan dirinya sendiri.

"Kita ke mall ya. Siapa tahu suasana ramai bisa bikin kamu lega sedikit."

With you ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang