29. Distance

592 73 11
                                    

Lelaki berpakaian rapi lengkap dengan jas hitam dan dasi kupu-kupu persis seperti cara berpakaiannya beberapa bulan lalu di acara pernikahan Ajun itu berjalan dengan tegap memasuki ruang tunggu pengantin laki-laki. Dia berhenti di tengah pintu dan mengamati kakaknya dengan pandangan heran. Pria itu masih sibuk menatap cermin sambil membenarkan jasnya. Terlihat tidak gugup sama sekali. Padahal kenyataannya memang sedang gugup. Sedangkan latar belakang suasana diisi dengan suara tembakan dari permainan si bungsu yang dengan santainnya duduk rapi di singgasana sang sulung seolah tidak ada yang perlu ditakutkan.

Laki-laki itu menghela napas dan melangkah ke pojok ruangan sambil memasukkan tangannya ke dalam celana. Punggungnya disandarkan ke tembok. Wajahnya tidak menampilkan rasa bahagia dari bulan lalu. Tapi kali ini semakin terlihat keruh.

Mark yang menyadari keberadaan adiknya akhirnya menyelesaikan aktivitasnya di depan cermin. Dia berjalan ke arah anak tengah keluarga Bagaskara itu. Matanya seolah mengejek keadaan adiknya yang sedih berlarut-larut memikirkan keberadaan kekasihnya. Padahal bisa dilihat oleh mereka juga.

"Muka ditekuk gitu." Mark berhenti dan menyedekapkan tangannya di depan dada. "Ini hari pernikahan gue kenapa ditekuk gitu? Nggak suka lu?"

"Lebih nggak suka sama niat abang yang semena-mena." Jeno meniup angin dari mulutnya ke atas menuju hidung. Dia lelah juga dengan laki-laki di depannya. Setelah memaksanya bekerja di perusahaan, sekarang laki-laki itu merencanakan hal lain lagi. "Jadi alasan abang nyuruh aku buat bekerja di perusahaan tuh ini?"

Mark tersenyum dengan licik. Dia tahu dengan pasti adiknya itu segera tahu. Lagipula dia memang sengaja untuk mulai mengumumkan rencana untuk perusahaannya di masa depan. Setelah kepemilikan perusahaan keluarga Bagaskara berpindah ke tangan Mark, Mark berhasil membuat perusahaan itu semakin berkembang.

"Iya memang. Lu pikir gue biarin lu gitu aja? Gue punya rencana makanya maksa lu buat bekerja di bidang ini."

"Tapi nggak dengan memberikan perusahaan yang mau abang buka di Amerika itu untuk aku." Jeno menegapkan tubuhnya. Kini tinggi badannya lebih dari kakaknya. Dia harus menunduk sedikit untuk berbicara.

"Kalau nggak kayak gitu nggak bakal ada yang pegang. Masa orang lain? Gue gak bisa percaya Jen. Satu-satunya yang gue inginkan buat pegang perusahaan cabang di Amerika itu ya lu. Makanya gue mati-matian nyuruh lu buat kerja di bidang ini."

"Abang tuh emang bikin Jeno capek harus selalu nurutin abang." Jeno mencebikkan bibirnya. Dia ini bukan anak kecil lagi yang bisa mudah untuk diatur. Jika memang rencana abangnya yang sejak lama sudah ada itu, harusnya Jeno diberitahu lebih dulu. Kalau seperti ini dia juga nggak siap. Apalagi rencana untuk meninjau tempat yang baru jadi sebulan lalu itu dua hari dari sekarang.

"Gue punya rencana yang terbaik untuk perusahaan papa Jen. Ini kesempatan buat berkembang dan kebetulan pas dijabat sama gue. Lagipula gue mau lu juga pegang perusahaan Papa, bukan gue doang. Kalau Jeremy sih biarin aja tu anak seenaknya."

"Aku denger ya abang-abang." Jeremy menginterupsi sambil tetap memainkan permainan di ponselnya. Matanya masih awas mengamati pergerakan musuh di layar.

"Terserah abang deh, aku ngikut aja." Mark menepuk pundak adiknya itu, memberikan kekuatan untuk menjadi lebih kuat.

***

"Jadi? Dia akan pergi? Bisa-bisanya." Perempuan dengan kacamata bulat yang bertengger di hidungnya itu menatap lawan bicaranya dengan raut wajahnya yang tertekuk.

"Iya. Perusahaan baru dari OC'j Corp punya Papanya Jeno itu mau dikembangin sama Mark ke Amerika. Cabang itu bakal dipegang sama Jeno. Dua hari lagi dia mau pergi."

"Darimana lu tahu Van?" tanya Karina yang menyenderkan punggungnya pada kursi kerjanya. Dia merindukan Jeno sebenarnya selama beberapa bulan berpisah. Tak sekalipun pikirannya lepas dari sosok itu.

"Dia ke rumah aku beberapa hari yang lalu buat ngajak Caca main seharian. Dia juga bicara sama Jammy tentang masalah itu. Jadi ya aku tahu." Vanessa menghisap teh bunga kamelia yang diberikan sekretaris Karina.

"Ck, gahabis pikir gue sama dia." Karina menyedekapkan dadanya dan memandang lukisan foto besar salah satu foto hasil pemotretan Jeno ketika laki-laki itu menjadi model.

"Lagian kamu nggak mau ketemu sama dia."

"Dia nggak mau ketemu sama gue." Vanessa melemparkan bantal berwajah hello kitty yang ada di sofa ke arah Karina.

"Kamu yang menghindar sama dia Kar. Kasian sampe hampir ketabrak mobil juga buat ngejar kamu kemarin."

"Hah?" Karina terkejut dengan pernyataan Vanessa. Kemarin Karina memang bertemu dengan Jeno ketika berada di salah satu kafe kue favorit Jeno. Hari itu Karina langsung pergi seperti biasa untuk menghindari Jeno. Bahkan menyebrang tepat setelah lampu hijau menyala. Jeno mengejarnya tapi dia tidak tahu kalau hari itu Jeno hampir kecelakaan karenannya. Karina merasa bersalah mendengarnya. "Dia nggak apa-apa kan tapi?"

"Nggak papa sih. Untung Jammy bisa narik tangan Jeno jadi nggak nyebarng itu anak." Vanessa meletakkan cangkirnya setelah meminum tehnya kembali. "Sampai kapan kamu mau ngehindarin dia Kar? Jangan jadi kayak anak kecil. Kamu nggak tahu loh dia sebenarnya ngapain buat kamu."

"Gue belum siap dengan penjelasan dia Van. Gue takut kalau sama seperti apa yang gue pikir. Gue takut kalau hubungan kita berakhir gitu aja."

"Dengan kamu ngehindarin dia, apa kamu nggak berpikir kalau justru yang mengakhiri hubungan kalian itu kamu Kar?" pertanyaan diplomatis yang ditunjukkan Vanessa itu terasa menohok hatinya. Pertanyaan yang jatuhnya pernyataan itu membutuhkan validasinya.

Karina hanya diam. Apa yang dikatakan Vanessa itu ada benarnya. Bahkan tingkat egoisnya sangat tinggi. Saat ini seharusnya dia memikirkan masalahnya secara lebih luas agar tidak salah langkah. Ketakutannya untuk ditinggalkan kembali membuatnya tidak ingin kehilangan appaun. Tapi bukannya Jeno yang mengakhiri kisah mereka, justru yang punya banyak peluang untuk mengakhiri adalah dirinya.

"Kamu nggak datang ke pernikahan Kak Mark?"

Karina kembali ke dunia nyata setelah bergelung dengan pikirannya. Dia menatap Vanessa. Dengan hati yang mantap dia mengatakan, "Gue akan datang."

***

Nyatanya mata bulan sabit itu di sepanjang acara tidak pernah menemukan sosok yang dia cari. Bahkan setelah acara pemberkatan selesai Jeno tidak menemukannya. Harapannya sangat besar untuk hari ini. Tapi nyatanya Tuhan tidak berencana mempertemukannya dengan pujaan hatinya.

"Udahlah, enggak datang dia. Mau meding makan aja Jen." Vaniel menepuk pundak Jeno dan menariknya menuju tempat makanan berada.

"Nggak Niel. Gue mau nyiapin berkas yang harus dibawa ke amerika lusa. Sama packing barang." Jeno melepaskan tangan Vaniel. "Mungkin memang sampai di sini harapan gue. Lelah juga ngejar yang nggak pasti."

Jeno melangkah menjauh menuju pintu keluar. Mungkin sudah saatnya dia membuka hatinya untuk orang yang baru. Sudah tiga kali Karina meninggalkannya. Pertama ketika mereka masih di SMA Karina menghilang begitu saja. Kedua kalinya ketika Karina dengan egoisnya meninggalkannya ke Perancis tanpa berdiskusi dulu dengannya. Dan yang ketiga adalah untuk kejadian beberapa bulan yang lalu lebih tepatnya dua bulan yang lalu. Jeno juga sudah berusaha menemui perempuan itu. Mungkin ini memang akhirnya.

Jeno berjalan dengan berat hati meninggalkan area pernikahan kakaknya itu. Padahal di sisi lain, setelah perdebatan panjang Karina akhirnya menginjakkan kakinya di hotel itu. Di tempat pernikahan Mark. Tidak hanya untuk bertemu sang pengantin yang berbahagia tapi juga untuk bertemu Mark. Sayangnya dia tidak bisa menemukannya di sepanjang matanya meneliti ruangan itu.




Sibuk banget buat hari-hari kemarin jadi baru bisa up hari ini 😥

With you ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang