Pagi itu Jeno sudah rapi dengan celana jeans dan kaos polos hitamnya. Langkahnya dengan mantab memasuki rumah mewah yang bernuansa kebun. Dari taman depan hampir semuanya berisi tanaman hijau. Di dalam rumah itupun banyak terdapat tanaman di dalamnya. Jangan lupakan juga ornamen-ornamen kebun yang terpasang di setiap dinding. Itulah mengapa Jeno menyebutnya rumah kebun karena pemiliknya memang sangat menyukai tanaman.
Senyumnya merekah ketika melihat gadis kecil yang berlari ke arahnya. Gadis berambut panjang yang diikat dua itu menabrakkan tubuhnya ke kaki Jeno. "Papa," ucap gadis itu dengan suara imutnya.
"Halo Caca. Udah siap jalan-jalan sama papi?" tanya Jeno yang menggoyangkan rambut anak kecil itu.
"Kali ini lo mau bawa anak gue kemana deh? Pagi bener." Laki-laki dengan jas putih dan kacamata bulat yang melekat di hidungnya itu menatap Jeno dengan pandangan menyelidik.
"Jalan-jalan lah kemana lagi." Jeno mengangkat Caca seperti kebiasaannya sebelum membawa Caca jalan-jalan.
"Jalan-jalan lu tuh kadang nggak lazim. Sampai keluar kota juga. Lu kira dia anak lu apa?" Laki-laki itu masih kesal dengan Jeno karena beberapa waktu yang lalu membawa anaknya pergi berlibur ke Bandung tanpa memberi tahunya terlebih dahulu.
"Ya sorry Jam, gue lupa bilang. Tapi lu jadinya enak kan bisa nikmatin waktu sama Vanessa. Akhirnya jadi satu benih lagi."
"Lo tuh ya." Jammy menggenggam tangannya dengan kuat agar tidak memukul Jeno yang saat ini tertawa meremehkan. Tidak mungkin Jammy akan memukulnya karena dia sedang menggendong Caca. "Kali ini jangan bawa dia ke Bandung lagi."
"Iya enggak. Tapi mau gue bawa ke Raja Ampat."
"Lo tuh..."
"Udah Jam, udah. Kalau mau di bawa ke Raja Ampat juga nggak mungkin. Segila-gilanya Jeno. Jeno nggak bakal berani ngajakin Caca naik pesawat." Vanessa yang baru menyelesaikan sarapan pagi itu datang menghentikan kedua sahabat yang bertengkar. "Ayo makan dulu."
Jeno dan Jammy mengikuti Vanessa yang memimpin ke bagian dapur. Masakan kali itu terlihat special karena Vanessa terbiasa memasak makanan lebih ketika Jeno datang. Jeno memang terkadang sering makan di rumah itu dan laki-laki itu terlalu banyak makan. Caca juga banyak makan karena Jeno tidak berhenti menyuapi Caca.
"Lo tuh suka anak kecil. Nggak mau bikin sendiri?" tanya Jammy yang kesal melihat mata berbinar Caca tiap kali disuapi Jeno.
"Gue nungguin Caca gede kalik ya. Kayak anaknya Adward Cullen itu."
"Lu makin hari makin gila." Jammy menggeleng kepalanya. Lebih baik dia memakan makanan pagi itu daripada berbicara dengan Jeno. Rasanya sahabatnya itu memang sudah kehilangan kewarasannya.
"Jen. Nanti jangan ajakin Caca sampai malem ya. Kasian dia kecapekan terus kalau pulang jalan-jalan sama kamu."
"Tenang aja Van. Cuma ngajakin dia ke timezone paling nanti sambil jalan-jalan ke taman. Gue bisa-bisa keciduk sama wartawan lagi."
"Nah itu lo tahu."
"Dasar tua." Jeno memeletkan lidahnya untuk mengejek Jammy karena laki-laki itu mendapat peringatan untuk berhenti berdebat dengan Jeno.
Makan pagi itu telah selesai. Seperti yang Jeno katakana. Jeno membawa Caca untuk bermain di timezone. Tidak lupa dengan alat penyamaran Jeno yang memakai topi berwarna hitam dan memakai masker hitam. Ya seperti itulah ketika Jeno berjalan-jalan agar tidak mendapatkan banyak perhatian dari orang-orang yang mungkin mengenalinya.
***
Karina tersenyum dengan lebar ketika berhasil menginjakkan kakinya di bandara Soekarno-Hatta. Sudah lama dia tidak melihat langit Indonesia dan bunyi klakson yang saling bersautan menandakan keramaian kota terdengar di telingannya. Matanya menatap sekeliling, Ajun sudah menunggunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
With you ✓
Fanfiction[Completed] Kesan pertama yang dapat diambil dari seorang Jevano ketika pertama kali bertemu adalah laki-laki berparas tampan dengan aura dingin dan berwawasan luas, tapi sayangnya Jevano tidak peka. Tampannya Jevano itu lengkap, manis, ganteng, coo...