"Lun!"
Luna. Begitulah aku dikenal. Ya, kalian tidak salah baca. L-U-N-A memang begini kombinasinya.
Mengapa?
Sejarahnya agak ironis untuk didengar, namun apa boleh buat, aku mesti menceritakannya agar kisah ini berlanjut.
Nah. Kalau kita tarik jauh ke belakang, akan tampak jelas pabila hakikat dari sapaan ini adalah celaan.
Itu sudah terjadi semenjak aku di kelas dua SD. Tidak sulit bertahan dari semua murid yang ikut merundung secara verbal— sengaja menyeruku cuma untuk mencela —sebab tantangan terbesar ada di perangai para berandal kelas.
Aku ingat mereka anak-anak cewek berbadan besar dan karena tawanya yang nyaring, berakhirlah kusebut pasukan penyihir. Bisa dibilang, aku menahan diri agar tidak mencakar wajah mereka. Selain karena perbandingan ukuran tubuh yang macam peri hutan dengan sekawanan buto ijo, juga karena aku pernah tak sengaja mendengar anak lain bergosip kalau mereka hanya iri padaku. Entah bagian mana dari hidupku yang menyinggung mereka secara tak sengaja, namun mulai hari itu aku bungkam kala dijadikan bulan-bulanan mereka. Soalnya kata Mama, tidak ada yang bisa dijelaskan kepada orang dengki. Bukan kita yang berdosa tetapi hati mereka yang bermasalah.
Beruntung aku sanggup menghadapi pasukan penyihir sampai masa pendidikan dasarku selesai. Barulah setelah lulus aku terbebas dari penderitaan– harapanku memang begitu.
Sialnya ada saja yang sepemikiran denganku. Dalam kasus ini, pilihan mengenai sekolah. Huft. Setidaknya mereka bukan penyihir sehingga masa kelamku tak berlanjut jadi dua season. Tetapi sebagai konsekunsi, "Luna" tak pernah bisa lepas dariku. Kabar buruknya belum habis, masih tersisa fakta jika Mama jatuh cinta dengan cemooh yang melekat padaku. Bilang,
"Ih, lucu tahu. Luna. Haha. Anak Mama namanya sekarang Luna."
Seharian wanita itu mengulang-ulang panggilan baruku, belajar menyesuaikan lidah.
Beberapa teman tahu aku Aluna Pradipta, tetapi jika kalian datang ke sekolah dengan mencari nama ini, percayalah tak akan berakhir mudah; Luna lebih diketahui secara luas. Walau kenyataan ini membuatku muak karena harus menjelaskan kenapa bisa jadi "Luna" sambil mencoba menawarkan panggilan lain yang lebih keren, tetap saja pada akhirnya pak Satpam maupun Guru-guru memanggilku begitu.
Besyukur hari ini aku berbesar hati. Kalau tidak, sepatuku pasti akan melayang mengenai kepala Erina. Yeah, sejujurnya aku sudah pasrah. Mendebat hal yang sama selama bertahun-tahun capek juga rasanya.
"Apa?!"
Omong-omong, Erina adalah sahabatku sedari SMP. Dia salah satu yang berperan besar dalam menyebarluaskan "Luna" ke lingkungan SMA.
"Mau kemana?!" Erina menyeru, berusaha agar suaranya tak tertelan riuh kantin siang ini.
"Ada urusan bentar!" balasku buru-buru.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA | Jaemren
Teen FictionDi persimpangan persis dekat rumahnya, Aluna memulai kisah yang tak pernah terbayangkan sama sekali. Menjalin hubungan tanpa ungkapan perasaan bersama cowok sedingin antartika, yang seiring berjalannya waktu tak urung memunculkan sepercik ragu. Ap...