32

665 72 16
                                    

Januari malam, di dasar lapisan selimut tebal Luna bersembunyi dari udara yang menggigit sehabis hujan. Ia baru saja menamatkan novel berjudul Dracula yang terkahir kali dibeli bersama Cakra. Dengan melepas kacamata baca, Luna akhiri sesi pada pukul sembilan malam dengan niat pergi menyongsong lelap.

Di pertengahan menuju alam mimpi, tak sengaja Luna menangkap suara dari pintu balkon. Bunyi benda kecil yang menabrak kaca muncul beruntun. Luna tak mau peduli karena sudah di posisi ternyaman, juga tanggung sekali kalau harus bangkit untuk memastikan sesuatu yang tidak penting.

Hanya saja, lama-kelamaan proses perpindahan alam yang sedang Luna usahakan jadi terganggu. Terpaksa dia bangun dengan segala rasa malas yang terus-terusan menariknya ke kasur, pun kantuk yang menggelantung di kelopak mata. Menggerutu, derap tak rela Luna sampai juga. Ditemukannya berserakan di lantai ... pentil jambu?

Penasaran memotivasi guna melongok ke bawah. Maka terjawablah keheraan Luna. Ada Zidan dan Ilham ditemani cengiran lima jari bertindak sebagai pelaku. Jangan lupakan Pak Satpam yang meringis di dekat gerbang belakang. Rayuan macam apa yang komplotan ini lancarkan sampai bapak-bapak itu luluh?

Luna melempar gestur bertanya pada mereka, dibalas dengan lambaian tangan yang menyuruhnya mendekat.

Luna bisa saja bersikap masa bodoh, tapi dia jadi bertanya-tanya saat Zidan melayangkan permohonan non-verbal yang menariknya turun.

"Ngapain kalian ke sini?" tembak Luna.

"Lo bisa ikut kita bentar nggak, Lun?" Ilham berkonversasi, mengesampingkan temannya yang cemberut karena wajah dan pembawaan Luna tidak cukup bersahabat.

"Ke mana?"

"Markas."

"Ngapain?"

"Si Aksa–"

"Mungkin lo gak tau, tapi kita udah putus."

"Gimana gue nggak tau kalo hampir tiap waktu dia nangis dan ngoceh nggak jelas tentang lo?"

Zidan menimpali judes. "Dari a-z kita udah khatam kali. Sampe mau muntah rasanya."

Kerjap di mata Luna menandakan penasaran, tapi sebisa mungkin dia tetap tenang. "Maksud lo apa?"

"Ikut kita makanya," Zidan menyerobot.

Alis Luna mengkerut, nada Zidan terdengar seolah-olah Luna yang memiliki keperluan. Padahal, "Kalian yang dateng duluan ke sini dengan urusan kalian. Kenapa gue yang mesti ikut keputusan kalian?"

Ilham ambil alih suara dengan tidak membiarkan Zidan ikut campur. Mulut slebor manusia satu itu bahaya kalau terlibat dalam negosiasi. "Bukan gitu, Lun. Kita ke sini karena butuh banget bantuan lo. Gue tau kalian emang udah nggak ada hubungan apapun, tapi gue nggak tau mesti gimana lagi nanganin si Aksa."

Diam-diam cemas mencuat di hati Luna. "Kenapa nggak kalian suruh pulang aja?"

"Udah dari lama kita lakuin kalo emang bisa, tapi dia selalu ngamuk tiap kita bilang mau anter dia balik."

*

"Katanya dia nggak mau bikin Bundanya khawatir, tapi terus-terusan kayak gitu. Gue nggak paham jalan pikirannya," pungkas Ilham sebelum menutup pintu.

Luna melirik sekitar. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa dia akan kembali menginjak kotak sempit, kotor dan sedikit bau debu ini.

Dan apa yang Luna lihat sekarang lebih buruk. Acak-acakan; puntung rokok berserakan; bergelimpangan botol miras. Begitupula dengan meja, keadaannya tak jauh beda. Aksa duduk di sofa lapuk, tidak tegak. Kondisinya cukup mengenaskan, hingga mampu mengadirkan sengatan tawon di dada Luna.

AMIGDALA | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang