25

456 72 9
                                    

Luna sangat akrab dengan posisi seperti ini– sering sekali muncul di drama tontonan dan seharusnya jadi terlalu basi untuknya. Namun haru yang timbul berkat sajian makan malam, canda tawa yang menyelingi dan interaksi manis ini rupanya berbeda jauh dengan apa yang telah ia simpulkan. Terlebih Luna sama sekali tidak membayangkan akan mengalaminya sendiri, sampai ia dibuat menelan ludah saat tahu rasanya amat mencelos di hati.

"Aduuuuh. Bisa nggak sih kalo makan jangan kayak babi?"

Sebuah erangan meletus di antara denting sendok dan piring. Dayanya tidak terlalu besar namun memiliki pengaruh kuat hingga sanggup memberhentikan percakapan yang sedang melaju.

"Noh, Lun, katanya–"

"Bukan Kak Luna tapi lo!"

"Oh, gue."

"Ih, gii." Sashi, selaku pencetus mencemooh Rendi– Kakaknya.

Gadis di tingkat menengah pertama itu tidak sedang melebih-lebihkan. Cara makan Rendi memang agak beda– dalam konotasi negatif. Dia lebih rakus dari remaja cowok kebanyakan dan beraksi seolah belum makan sepanjang waktu. Jangankan Sashi, Luna saja yang cuma sesekali mendampingi sesi santap-menyantapnya tidak pernah tidak kesal melihat gayanya.

"Ini tuh namanya gue menikmati dan menghargai makanan yang udah dihidangkan."

"Menikmati mata lo. Nggak sopan, tau nggak? Paham table manner nggak sih lo?" Sashi bersuara dengan tekanan seperti orang habis kesabaran.

"Halah. Kita nih lagi makan makanan rumahan, bukan buatan Chef restoran bintang lima. Bukan juga agenda makan bareng pejabat. Orang-orangnya cuma Ibu Indah yang cantik jelita, adek biadab sama Pak Irwan yang kalo ngeronda suka bawa termos sama kopi serenceng hasil ngebon di warung."

"Nggak peduli siapapun yang semeja sama lo, etika itu tetep nomer satu. Dan di sini ada Kak Luna! Dia tamu, harus dikasih kesan baik tapi lo malah makan kayak orang yang mau abisin semeja!"

"Alah ribet."

"Ih! Lo tuh ya, kalo dikasih tau nggak pernah denger! Pantes aja jadi langganan guru BK!"

"Setidaknya gue pinter!"

"Astagaaaa." Tante Indah akhinya menyerah untuk tidak mencetus keluhan, giginya beradu gemas. "Kalian ini kalo nggak berantem sehari, apa besok langit bakal runtuh?"

Kata-kata itu terpelanting jauh, tidak bisa mengalahkan adu mulut yang sedang terlaksana. Sementara Luna hanya bisa diam menonton sambil terus mengisi mulut– seperti Om Irwan yang tetap syahdu di tengah riuh kicauan anak-anaknya.

"Si Luna mah udah tau gue luar dalem dan dia nerima gue apa adanya, nggak kayak lo yang  kufur nikmat. Punya Kakak ganteng bukannya dibaik-baikin malah kurang ajar."

"Najis. Palingan juga Kak Luna terpaksa temenan sama lo. Udah jelek, jarang mandi, ketombean lagi!"

"Wah, si kecoa terbang nggak tau. Gue saking bestie-nya nih sama si Luna, foto dia bugil aja gue punya!"

Kontan suasana senyap saat itu juga– kalau Luna yang tersedak tidak termasuk dalam hitungan.

Tidak terelakkan, Luna memerah sebagai objek di mana tatapan curiga orang tua Rendi dan Sashi berlabuh. Sepasang matanya melotot, menuntut penjelasan Rendi.

"Kejauah sih kalo cuma bestie," celetuk Sashi yang membuat Luna semakin kalap.

"Semuanya nggak kayak yang kamu pikir!" Panik dalam suara Luna malah membuat isi kepala Sashi melanglang buana ke sesuatu yang tidak-tidak. Begitu Om Irwan berdeham, Luna sudah akan melompati meja dan menghajar Rendi yang justeru kicep atas situasi ciptaanya sendiri.

AMIGDALA | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang