Di ujung rasa kantuk, Luna berhenti berharap. Wina tidak jadi menjemputnya dan ia menolak mentah-mentah Tante Indah yang ingin menjelaskan situasi.
Wajah masam Luna yang tidak bisa dikondisikan, dibawa masuk ke bawah selimut. Malam itu Luna putuskan untuk pergi tidur dengan segumpal rasa dongkol yang bercokol di tenggorokan.
"Aku benci Mama, Papa sama Kakak juga." gerutu Luna di samping pusara Radin. Begitu saja ia duduk di tanah yang ditanami rerumputan.
Dalam kepala Luna ada begitu banyak keluh kesah yang bermunculan. Seperti saat hubungan mereka masih layak dulu, Radin memang selalu jadi tempatnya mencurahkan seisi pikiran.
Kalau diingat-ingat, dulu mereka memang sedekat itu sampai Luna biasa mengisahkan pengalaman kecilnya dengan begitu dramatis. Hadirnya jarak di antara mereka adalah sesuatu yang tidak pernah Luna sangkakan. Namun apa boleh buat, seperti inilah keadaannya sekarang. Mereka bahkan harus berada di dua sisi berbeda.
"Aku pulang dulu."
Luna tidak benar-benar pulang saat itu juga. Kursi panjang kayu yang dibuat alakadarnya jadi tempat persinggahan. Matahari yang sedang terik-teriknya menyuruh Luna sembunyi di bawah kanopi sebuah bangunan semi permanen tempat juru kunci TPU beristirahat. Laki-laki tua itulah yang paling berkontribusi dalam keberadaan Luna di sana. Ia mencegat Luna dengan menawarkan segelas air putih.
"Beruntung sekali kakakmu," kata dia yang datang dari arah dalam, kemudian duduk di dipan bambu yang berseberangan dengan si tamu.
Luna tidak menjawab, meski dalam hati sepenuh iri membenarkan.
"Makam kakakmu yang paling sering dikunjungi," kata beliau lagi, seolah tidak peduli dengan Luna yang acuh tak acuh terhadap ucapannya. Mau bagaimanapun sudut hati Luna berisi kumpulan kesal, marah dan dendam terhadap Radin. Jelas semua yang berhubungan dengan orang itu terasa seakan sesuatu yang bisa mengiritasi telinganya. "Banyak orang yang menjenguk. Pasti dia orang yang sangat baik."
Entahlah. Bagi Luna, Radin hanya baik dalam berpura-pura baik.
"Waktu itu bahkan dia kedatangan tiga tamu dalam satu hari." Si Kakek menyeruput kopi dari gelasnya. "Minum dulu. Kamu dari pagi di sana, apa nggak haus setelah dipanggang matahari kota ini siang bolong?"
Masih tanpa bicara, Luna menurut. Omongan Kakek itu bukan hiperbola. Luna memang baru beranjak setelah pukul dua siang, padahal saat sampai masih pukul sembilan pagi. Selama itu dan sedikit sekali yang bisa Luna katakan.
"Aku lihat sepasang suami istri datang. Mereka juga sama kayak kamu, mampir ke gubuk ini untuk minum. Setelah lihat kamu, aku rasa mereka orang tua kalian. Kamu persis Ibumu, Nak. Cantik. Istriku waktu gadis saja kalah, tapi dia tetap nomor satu bagiku."
Demi menanggapi suara bernada cinta ini, Luna tersenyum tipis. Dia mendengarkan meski kakinya yang mengetuk lantai memberi tanda ketiadaan minat.
"Ibumu terlihat resah. Aku tidak tahu kenapa tapi ayahmu yang tinggi dan wajahnya macam aku sewaktu muda dulu bisa menenangkannya. Melihat mereka aku seperti nostalgia. Betapa mereka membuatku merindukan mendiang Istriku." Oh, fakta yang cukup mengejutkan Luna. "Ibumu bertanya apakah ada orang lain yang datang sebelum mereka. Lalu kubilang memang ada yang datang sebelum mereka."
"Siapa?" kebisuan Luna pecah saat rasa penasaran mampu menarik pita suaranya.
"Ibumu juga bertanya begitu, tapi dia terlihat lebih tidak sabaran. Hm, sebentar." Kakek mengusap dagu. "Yang jelas aku tidak tahu namanya tapi aku ingat persis dia seorang pemuda tampan– yang lagi-lagi mirip aku waktu seumurannya. Dia makin sering datang belakangan ini, bawa bunga. Kayaknya dia sangat sayang sama kakakmu. Atau dia kakakmu yang lain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AMIGDALA | Jaemren
Teen FictionDi persimpangan persis dekat rumahnya, Aluna memulai kisah yang tak pernah terbayangkan sama sekali. Menjalin hubungan tanpa ungkapan perasaan bersama cowok sedingin antartika, yang seiring berjalannya waktu tak urung memunculkan sepercik ragu. Ap...