23

412 65 15
                                    

Perasaan Luna sudah kacau balau sedari tadi. Berbagai prasangka telah sukses bersarang di benaknya.

Perbincangan dengan Erina pasal bunga tempo hari terputar kembali dan seolah memang seharusnya begitu, ingatan saat ia hanya bisa mengamati Aksa dari kejauhan beberapa hari terakhir turut terkenang.

Luna menggigit bibir, tersentak oleh sesuatu yang semula angin lalu di antara potongan memorinya. Dia tidak ingin berpikir yang tidak-tidak hanya karena penemuan yang masih rancu. Apalagi sampai melempar tuduhan tidak jelas. Tidak mau menyesal nantinya.

Namun apalah daya, Luna hanya remaja tujuh belas tahun yang belum bisa mengelola diri dengan baik. Terutama tatkala bagian bernama "emosi" dalam sistemnya masih sukar dikendalikan, di setengah perjalanan saja Luna sudah tertelan segala kemungkinan buruk yang mampu otaknya rancang. Kepalanya berdenyut nyeri. Hatinya apalagi.

Hesa sekelas dengan Aksa.

Hesa selalu ada di samping Aksa.

Hesa satu tim dengan Aksa.

Hesa selalu duduk di samping Aksa.

Hesa dan Aksa ...

Ketika nama mereka mulai terdengar serasi, mendadak Luna rasakan tubuhnya terombang-ambing di dalam sesuatu yang membuncah hebat, sebuah gelombang hitam raksasa bersiap menggulungnya. Luna ketakutan namun ketika melihat sekeliling, rupanya ia sebatangkara; tidak ada siapapun di dunianya. Tidak Wina, Cakra, ketiga temannya bahkan Aksa yang dikira akan jadi bagian hidupnya pun tak dapat ditemukan eksistensinya.

Luna kalang kabut saat napasnya mulai memendek, sesak. Sempat tak sadar keberadaan diri sendiri, ia terperangah saat sesuatu tidak sengaja tertendang oleh kakinya. Sepatu. Miliknya.

Meski paru-parunya seolah kian menyempit, sebisanya Luna meneguhkan fokus. Namun tetap saja, tak dapat ia temukan petunjuk tentang kenapa barang-barangnya berserakan di tengah rumah, akalnya buntu.

Bi Tuti bersembunyi di balik sekat, sorot matanya cemas. Ekspresi Wina berbeda, wanita itu memandang tajam, sengit dan seperti sedang ... marah.

Ada apa?

"Ma ...." Ini saja yang sanggup dikatakan. Suasana hati yang tidak kondusif membuat Luna kerepotan mencerna. Kondisi macam apa yang tengah dihadapi, dia tidak jua mengerti.

"Katakan, kamu dapet semua ini dari mana."

Ah, begitu rupanya.

Wina pasti tidak mengenal semua yang ada di sana. Benda-benda ini bukan pemberiannya.

"Beli."

"Beli? Beli pakai uang dari siapa? Mama sama Papa nggak pernah beliin kamu barang-barang ini! Siapa yang ngasih kamu, hah?!"

Ayolah. Luna sudah tidak sanggup menekan gejolak di sekujur tubuhnya. Dia bisa runtuh kapan saja. "Apa untungnya buat Mama kalo tau? Yang penting Luna nggak mengurangi anggaran Mama buat manjain Nita, kan?"

"ALUNA!"

Luna buang muka.

"Semua ini barang mahal. Dan ini. Sejak kapan kamu punya kalung ini?"

Langkah Wina cepat, Luna tak keburu menghindar saat kalung yang melingkar pada lehernya diraih kuat, hampir seperti ditarik.

Khawatir kalau-kalau benda itu putus, Luna merampas kembali dari tangan Wina dan melindunginya di balik seragam, lantas mundur beberapa langkah. "Mama maunya apa sih dengan berantakin barang Luna kayak gini? Toh nggak pake duit Mama. Kenapa Mama ribet banget?"

AMIGDALA | JaemrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang